2/16/2011

Epistemology

Epistemology


 

Epistemology ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Adapun pertanyaan mendasar yang dikajinya adalah; Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimanakah cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu?

Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dibagi kedalam dua kelompok yang bersifat umum. Kelompok pertama merupakan pertanyaan yang mengacu pada sumber pengetahuan kita. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dinamakan pertanyaan-pertanyaan epistemology kefilsafatan dan erat hubungannya dengan ilmu jiwa. Pertanyaan-pertanyaan kelompok lain merupakan masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan antara pengetahuan kita dengan objek pengetahuan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lebih atau tidak kurang, umumnya daripada pertanyaan-pertanyaan metafisika. Bahkan, dalam arti tertentu sama derajatnya. Bahwasanya epistemology erat hubungannya dengan kosmologi. Bagaimana cara kita mengetahui kenyataan dapat menentukan apa yang kita ketahui.

Dilain pihak jika kita tidak berhati-hati, bisa saja kita akan mengambil kesimpulan dari bagaimana cara kita mengetahui, bukan hanya apa yang kita ketahui, melainkan juga menyimpulkan apakah kenyataan itu. Ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan oleh mereka yang menunjukkan bahwa satu-satunya hal yang kita ketahui adalah ide-ide, dan bahwa karenanya kenyataan itu tentu terdiri dari ide-ide.

Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan atau mungkin sampai pada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian. Atau mungkin juga dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.

Masalah epistemology memiliki banyak segi. Penyelesaian masalah epistemology tergantung pada apa yang diajarkan oleh seorang psikologi kepada kita. Jika dikatakan masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan, apakah yang kita maksudkan dengan pengetahuan?

Kapanpun kita mempunyai pengetahuan, maka pengetahuan itu adalah apa yang kita ketahui mengenai sesuatu. Seperti dalam pernyataan kita terhadap seseorang yang menjelaskan bahwa kita memiliki pengetahuan. Apa yang kita ketahui kemudian dilontarkan melalui sebuah pernyataan, maka pengetahuan dari apa yang kita nyatakan itulah yang merupakan hal-nya. Mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang dinyatakan didalam pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh-sungguh benar atau sungguh-sungguh merupakan halnya.

Kiranya jelas, diantara hal-hal yang dimasa lampau kita percayai sebagai pengetahuan, dikemudian hari ternyata banyak yang sesat.

Pada suatu masa orang yakin bahwa hanya ada tujuh buah planet. Pada suatu masa para ahli mengira bahwa Darussalam merupakan pusat bumi atau dari tempat tersebut orang bisa turun ke neraka atau naik ke surga. Kadang-kadang orang-orang yang paling dogmatis sekalipun juga merupakan orang-orang yang paling tidak tahu. Keadaan tidak tahu itu dapat mengambil dua buah bentuk:

(1) tidak mempunyai pengetahuan begitu saja; dan

(2) memiliki kesesatan.

Karena sudah jelas bahwa mungkin kita tidak mempunyai pengetahuan yang sejati, maka kita dapat mengajukan pertanyaan, 'Bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan?'

Adapun cara-cara atau metode-metode untuk memperoleh pengetahuan memiliki beberapa metode. Yang antara lain;


 

Rasionalisme

Rasionalisme adalah faham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Alat dalam berfikir itu adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.

Rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari akal. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi fikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya didalam diri sesuatu barang. Jika kebenaran (dan, ipso facto, pengetahuan) bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada didalam fikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

Bapak rasionalisme kontinental, Descartes; berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Secara demikian, akal budi difahamkan sebagai (1) sejenis perantara khusus yang dengan perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan sebagai (2) suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran; artinya dengan melakukan penalaran.

Dengan memberikan tekanan pada metode deduktif ini, seorang penganut rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Karena itu, jika kita menginginkan kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premis-premis haruslah benar secara mutlak. Demikianlah seorang pengikut rasionalisme mempunyai suatu cara untuk memperoleh kebenaran-kebenaran yang harus dikenalnya, bahkan sebelum adanya pengalaman. Bagi Descartes, kebenaran-kebenaran a priori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.

Mungkin Spinoza-lah orang yang paling baik dalam memberikan gambaran tentang apa yang difikirkan oleh orang yang menganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur. Seperti halnya orang-orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin bahwa jika seseorang memahami makna yang dukandung oleh pernyataan 'Suatu garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua buah titik', maka kita mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan tersebut.

Menurut Spinoza, tidak perlu ada bahan-bahan bukti lain kecuali makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan. Spinoza menetapkan definisi-definisi tentang pelbagai istilah seperti 'substansi' dan 'sebab bagi dirinya sendiri', dan sebagainya, dan juga pelbagai dalil (misalnya, 'apa yang ada, pasti ada'), yang semua itu dipandang sebagai kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, dan dari kebenaran-kebenaran tersebut ia berusaha menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang lain mengenai kenyataan, Tuhan, manusia dan kebaikan.

Pengetahun diperoleh melalui kegiatan akal fikiran atau akal budi ketika akal menangkap pelbagai hal yang dihadapinya pada masa hidup seseorang, bagi seorang penganut rasionalisme. Apa yang diketahui pasti dalam hal tertentu, mempunyai hakikat yang sedemikian rupa sehingga dapat diketahui oleh akal.

Pengalaman merupakan pelengkap bagi akal. Seorang penganut rasionalisme tidaklah memandang pengalaman sebagai hal yang tidak mengandung nilai. Bahkan sebaliknya, ia mungkin mencari pengalaman-pengalaman selanjutnya sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya untuk memperoleh kebenaran. Dan ia mungkin mengadakan pembedaan antara pengetahuan dengan pendapat. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan kita.

Secara demikian, ketika saya melihat sesuatu dan mengatakan bahwa saya melihat sesuatu, maka saya tidak memiliki pengetahuan, melainkan hanya pendapat. Karena saya mengatakannya sebagai hasil penyimpulan yang diperoleh dari hasil penangkapan mata tertentu dan dari ingatan-ingatan tertentu yang ketika itu saya miliki. Mata saya mungkin menipu saya atau ingatan saya hanya dapat mengatakan bahwa saya melihat sesuatu itu dan sebagai akibatnya saya tidak dapat mengatakan bahwa saya mempunyai pengetahuan tentang pohon.

Akan tetapi ketika saya mengatakan 1+1 = 2, atau sesungguhnya bagi setiap kejadian tentu memiliki alasan mengapa kejadian itu terjadi, maka saya memiliki pengetahuan mengenai hal-hal tersebut berdasarkan atas penalaran. Ini sama sekali bukan masalah pendapat, karena tidak mungkin untuk mengingkarinya atau bahkan untuk memahami sesuatu seperti contoh perkataan saya tadi. Kita tidak dapat membayangkan dalam fikiran tentang dunia yang kacau-balau. Maka bagi seorang penganut rasionalisme, ukuran kebenaran ialah kemustahilan untuk mengingkari dan untuk difahamkan sebaliknya.


 

Empirisme

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peranan akal. Dan terdapat dua ciri pokok empirisme untuk memahami isi doktrin ini, yaitu teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan.

Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul ide atau konsep. Teori ini diringkaskan pada rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu didalam fikiran kita selain didahului oleh pengalaman)

Teori yang kedua. Menurut orang rasionalis, ada beberapa kebenaran umum seperti 'setiap kejadian tentu mempunyai sebab,' dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu, tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat obsevasi, jadi ia kebenaran a posteriori.

Seorang penganut empirisme biasanya berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Kata seorang empirisme, pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indera. John Locke, bapak empirisme Britania; mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampung, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian, itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

Empirisme Radikal. Mereka yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu dianggap bukan pengetahuan, dinamakan penganut 'empirisme radikal' (atau penganut sensasionalisme). Tetapi tidak semua penganut empirisme merupakan penganut sensasionalisme. Diantara mereka ada yang mengatakan kita dapat mengetahui suatu corak pengetahuan yang tidak dapat dikembalikan kepada penginderaan, sekalipun dikatakan pula bahwa hal itu bukanlah menyangkut pengetahuan mengenai eksistensi.

Pengalaman tiada lain merupakan akibat suatu objek yang merangsang alat inderawi, yang secara demikian menimbulkan rangsangan syaraf yang diteruskan ke otak. Didalam otak, sumber rangsangan tadi difahami sebagaimana adanya, atau berdasarkan atas rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi tadi. Begitulah pengetahuan terjadi, menurut penganut empirisme.

Tetapi apakah yang terjadi bila kita mempunyai suatu pengalaman? Perkataan itu menjadi bermakna ganda jika kita kemudian menanyakannya. Kadang-kadang, ini berarti bahwa indera kita memperoleh rangsangan, dan kita mengatakan mempunyai suatu pengalaman karena kita telah melihat atau mendengar atau mencicipi dan sebagainya. Pada waktu yang lain, tampaknya pengalaman bermakna sebagai hasil penginderaan ditambah tanggapan.

Ditinjau dari sudut epistemology, khususnya dari pandangan empiris. Pengalaman kadang-kadang menunjuk hanya pada hasil penginderaan.


 

Fenomenalisme Ajaran Kant

Immanuel Kant, filsuf Jerman abad XVIII, melakukan pendekatan kembali terhadap masalah diatas setelah memperhatikan kritik-kritik yang dilancarkan oleh Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan yang bersifat rasional. Mengapa pendirian Kant dikenal sebagai 'fenomenalisme'.

Sebab-akibat tidak dapat dialami. Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian menyepaknya, maka kita tidak akan mengatakan bahwa kucing menyebabkan kita menyepak, meskipun yang demikian itu terjadi seribu kali. Indera hanya dapat memberikan data indera, dan data itu ialah warna, cita rasa, bau rasa dan sebagainya. Kant berkata, Memang benar kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman. Bagaimana hal ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman. maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.

Akal mempunyai bentuk-bentuk untuk mengalami, memahami serta berfikir, dan pengetahuan selalu terdapat dalam bentuk-bentuk ini. Karena kita mempunyai pengetahuan dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk ini dan pengertian-pengertian tentang akal, dan karena bentuk-bentuk serta pengertian-pengertian ini harus ada sebelum kita dapat sekedar mempunyai pengetahuan, maka Kant menamakannya 'bentuk-bentuk a priori'.

Gelas, tentu mempunyai bangun untuk menampung benda cair, maka demikian pula akal mempunyai bentuk-bentuk a priori untuk memahami (misal, sebab-akibat) yang memungkinkannya memperoleh pengetahuan. Bahkan akal mempunyai cara-cara tertentu yang dengan cara tersebut akal memikirkan dan menyusun kenyataan.

Kant membedakan empat macam pengetahuan, yang ia golongkan sebagai berikut;

  • yang analitis a priori;
  • yang sintetis a priori;
  • yang analitis a posteriori;
  • yang sintetis a posteriori;

pengetahuan a priori; pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman, pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman, pengetahuan analitis merupakan hasil analisa, dan pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah. Analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah ada pengalaman. Pengetahuan ini merupakan bentuk pengetahuan empiris yang lazim.

Kant mengurai tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri (das Ding an sich) merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman, dihubungkan sesuai dengan kategori-kategori pengalaman, dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya; pengetahuan tentang gejala (phenomenon).

Bagi Kant, para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman – meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.


 

Intuisionisme

Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan kepada kita keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa sesuatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis. . maka menurt Henry Bergson, filsuf Perancis modern, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung langsung dan seketika, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh intuisi kepada seseorang tidak pernah dapat diberitahukan, karena untuk memberitahukannya seseorang itu harus menterjemahkannya kedalam simbol-simbol, dan dengan demikian seseorang itu akan berbicara mengenai pengetahuannya. Ditinjau dari sudut ini, orang dapat menaruh keberatan dan mengatakan bahwa intuisi lebih merupakan bentuk perbuatan mengalami daripada merupakan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Orang mungkin mengajukan keberatan dan mengatakan bahwa mengalami kenyataan mungkin berharga sebagai persiapan bagi pengetahuan.

Mengetahui berarti mempunyai pernyataan yang benar, dan suatu pernyataan (atau tanggapan, jika orang menghendakinya) bersifat simbolis. Karena itu tampaknya apa yang kita alami didalam dan melalui intuisi tidak dapat dinyatakan sebagaimana keadaannya, melainkan hanya dapat diterjemahkan kedalam uraian dari sudut pandang tertentu, dan karenanya apa yang kita alami itu bukanlah pengetahuan.

Dimisalkan, saya meminta agar seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan tentang 'sebuah penyerbuan'. Kita anggap ia termasuk salah satu seorang yang terlibat sebagai pendengarnya. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah dikerjakannya ketika mendengar siaran tersebut; bagaimana perasaannya ketika penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian yang aneh, apa yang dikatakan oleh penyiar tadi, apa yang ia fikirkan dan sebagainya.

Karena saya tidak berada ditempat itu, saya mungkin sangat tertarik pada keterangannya, mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan mungkin dengan perasaan sukacita. Setelah ia mengakhiri keterangannya, saya mungkin akan membuat suatu catatan mengenai kejadian itu, dan selanjutnya akan berbicara mengenai hal lain. Sebagai akibatnya, ia mungkin mengatakan atau merasa, 'ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi atau bagaimana perasaan saya.' Uraian yang ia berikan mungkin sangat lengkap, namun tanpanya, mungkin juga saya tidak akan mengetahui apa yang terjadi, meskipun saya dapat menceritakan kembali banyak hal diantara yang ia katakan mengenai kejadian itu.

Perbedaaan tersebut kiranya terletak pada dua ungkapan, yaitu 'pengetahuan mengenai' (knowledge about) dan 'pengetahuan tentang' (knowledge of). 'pengetahuan mengenai' dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. 'pengetahuan tentang' disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.

Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga didalam intuisionisme Bergson ialah, faham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman, disamping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan, disamping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan.

Intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme_setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk_hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi_yang meliputi sebagian saja_yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah yang-menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaannya yang senyatanya.


 

Metode Ilmiah

Metode ilmiah mengikuti prosedur-prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan.

Sejumlah pengalaman (pengalaman-pengalaman) dipakai sebagai dasar untuk merumuskan suatu masalah. Metode ilmiah dimulai dengan pengamatan-pengamatan dan berakhir dengan pengamatan-pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanyalah merupakan pembagian yang bersifat nisbi.

Masalah menghubungkan kejadian-kejadian secara sistematis. Mencoba merumuskan pernyataan-pernyataan sedemikian rupa sehingga pengamatan-pengamatan yang menimbulkan masalah tersebut akan dihubungkan satu sama lain secara sistematis dan dengan fakta-fakta lain yang sudah diamati.

Bila ada suatu masalah dan sudah diajukan satu penyelesaian yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan 'hipotesa'. Jadi hipotesa ialah usulan penyelesaian yang berupa saran dan sebagai konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan verifikasi.

Didalam proses menemukan hipotesa dikatakan bahwa kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman, mencari satu bentuk, katakanlah, untuk didalamnya disusun fakta-fakta yang telah diketahui dalam suatu kerangka tertentu. Diharapkan, jika fakta-fakta yang telah diketahui itu cocok dengan hipotesa yang disarankan tersebut, maka segenap yang serupa pasti juga akan cocok dengan hipotesa tadi. Metode penalaran yang bergerak dari suatu perangkat pengamatan yang khusus kearah suatu pernyataan mengenai semua pengamatan yang sama jenisnya dikenal sebagai 'induksi'.

Jika suatu hipotesa telah diusulkan maka perlu diverifikasi atau sekurang-kurangnya perlu bahan bukti yang mendukungnya. Bahan-bahan bukti yang memperkuat suatu hipotesa berasal dari dua jurusan;

(1) bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesa tersebut,

(2) hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan keterangan yang dapat diamati, yang memang demikian keadaannya.

Proses yang terjadi menunjukkan bahwa bahan-bahan keterangan yang diketahui itu cocok dengan hipotesa dapat dinamakan 'kalkulasi'.

Kajian terhadap hipotesa dimulai dengan pengamatan yang dilakukan secara hati-hati, sistematis dan secara sengaja terhadap ramalan-ramalan yang disimpulkan dari hipotesa tertentu. Jika mungkin, seorang ilmuwan harus mempersiapkan segala hal bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukannya. Ia membuat alat-alat, mencoba mengendalikan apa yang akan terjadi dan tatkala terjadinya, dan memakai pesawat-pesawat pengukur untuk mencatat apa yang terjadi. Dan ini dinamakan 'eksperimentasi'.

Jika pengamatan-pengamatan itu menunjukkan apa yang oleh hipotesa diramalkan akan terjadi, berarti bahwa hipotesa tersebut mendapat dukungan. Salah satu diantara sifat-sifat yang penting dari metode ini ialah, metode tersebut mengajukan syarat yang sangat sederhana. Yang diketengahkannya hanyalah kebenaran yang berupa probabilitas dan bukannya kebenaran mutlak, karena pengamatan berikutnya mungkin sama sekali tidak mengukuhkan hipotesa tersebut.

Sifat yang menonjol dari metode ilmiah ialah dipergunakannya akal dan pengalaman yang disertai dengan suatu unsur baru, yaitu hipotesa. Bila suatu hipotesa dikukuhkan kebenarannya oleh contoh-contoh yang banyak jumlahnya, maka hipotesa tersebut kemudian dapat dipandang sebagai hukum.

Sebagai metode-metode yang utama untuk memperoleh pengetahuan, dalam kenyataannya, apakah yang kita temukan bila kita memakai metode-metode tersebut untuk memperoleh pengetahuan? Yang terlibat dalam masalah ini sesungguhnya adalah masalah yang menyangkut hakekat sesuatu yang diketahui. Ini merupakan masalah yang peka, karena jawabannya sangat bersahaja, yakni misalnya 'saya mengetahui bahwa ini adalah sesuatu, maka saya mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu itu.'

Tetapi benarkah demikian? Apakah pada akhirnya saya hanya mengetahui ide saya, atau datum indera saya, atau sesuatu hal yang lain? Jelas, bila saya mengetahui bahwa ini adalah sesuatu, maka didalam akal saya tidak terdapat sesuatu itu sebagai objek material. Bagaimanapun juga, kiranya saya mendapatkan sesuatu yang berlainan dengan sesuatu yang bersifat material itu sendiri.

Atau apakah memang demikian? Karena jika sesuatu itu tidak benar-benar merupakan materi, melainkan berhakikat ide, maka mengapa saya tidak dapat memasukannya kedalam akal saya? Pertanyaan 'Apakah yang saya ketahui? Mungkin mengandung implikasi-implikasi tertentu bagi hakikat sesuatu itu sendiri, artinya suatu jawaban terhadap masalah ontology.

Referensi


 

Louis O. Kattsoff; pengantar Filsafat, Soejono Soemargono. Tiara Wacana Yogya, 2004

No comments:

Post a Comment