2/16/2011

Pembahasan Epistemology

BAB II

PEMBAHASAN EPISTEMOLOGI


 


 

  1. Pengertian Epistemologi

Dalam membicarakan filsafat pengetahuan (epistemologi) kita tidak dapat menghindari dari pembicaraan mengenai filsfat itui sendiri, sebab filsafat pengetahuan (epistemologi) merupakan salah satu cabang filsafat di antara cabanga-cabang filsafat yang lainnya, yaiatu : Ontologi, Aksiologi, Cosmologi dan philosopy of Mind.

Dalam pemikiran filsafat, Epistemologi (filsafat pengetahuan) merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika (Ontologi dan Cosmologi) dan bahkan antara dua disiplin ini salilng mensyaratkan. Pemikiran metafisik menjadi mungkin karena ada prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan kemungkinan diperolehnya pengetahaun oleh potensi diri manusia (indera, akal dan hati) tentang hakikat dan struktur segala sesuatu yang ada sejauh masih dalam kapasitas intelektual dan rohani berikut cara mengetahuinya secara tertentu. Pemikiran Epistemologi menjadi mungkin karena adanya prinsip-prinsip dasar mengenai hakikat struktur realitas. Dari sisi lain Epistemologi merupakan operator y ang mengkoordinasikan sistem berfikir dan memberikan oreintasi dan peta dalam memahami dan melihat semua kenyataan "yang mungkin" sejalan dengan prinsip-prinsip metafisik yanag dianutnya. Sehingga sebuah realitas menjadi bagian pengetahuannya yang pada ssaatnya menjadi dasar kegaitan keilmuan dan teknologis yang dilaksanakan dalam sitem sosial-budaya tertentu.

Karena sifatnya saliing mensyaratkan antara metafisika dengna epistemologi, maka dapat dinyatakan bahwa epistemologi seluas filsfat (khususnya metafisika sebagai disiplin terdasar filsafat) itu sendiri. Usaha untuk meneliti dan mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengna usaha untuk menentukan apa yanbg dapat diketahui dalam bidang tertentu. Untuk itu, maka epistemologi menetapkan fenomena pengetahuan sebagai obyek kajiannya baik dari pengandaian dan dasar-dasarnya maupun dari sisi cara dan validitasnya sehingga yanga diketahui dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam sejarah filsafat, dilema dalam filsfat Yunani Klasik adalah seseorang itu tahu tidak tahu. Artinya benarkah manuisa itu mengetahui tentang sesuatu, atau sesungguhnya manusia itu tidak tahu apa-apa, tahu dalam arti akan hakikat tentang sesuatu, dan inilah yang menjadi salah satu masalah filsafat, yaitu mencari hakikat tentang sesuatu. Oleh karena itu filsafat pengetahuan taidak dapat taidak harus melibatkan diri untuk membicarakan atau lebih tepatnya dalam hal ini adalah obyek kajiannya membahas tentang hakikat pengetahuan itu sendiri.

Dilema ini adalah persoalan di dalam teori ilmu pengetahuan (epistemologi), sebagaimana dinyatakan oleh Brubaher, sebagai berikut :

"The dilema is apropos again because it poses problem in the theory of knowledge as well as in the theory learning, in epistemology as well as in as in educational psycologhy. The question presented by the dilema is not only does new knowledge enter the mind, but assuming that is does, Hwo do we know that is the knowledge we are seeking."


 

(Dilema ini menunjuikkan ciri utama problem ilmu pengetahuan, sebab dilema itau menunjukkan kedudukan masalah itu dalam teori ilmu pengetahuan sama juga ia dipersoalkan ilmu jiwa pendidikan. Problem yang ditimbulkan oleh dilema itu masuk ke dalam jiwa manusia, tetapi juga bagaimana kita mengetahui bahwa itulah pengetahuan yanga kita cari).


 

Filsafat dan Ilmu yang dikenal di dunia Barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani Kuno. Pada zaman itu, Filsafat dan dIlmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya sebagai dua hal y ang berlainan, kedudukannya termasuk ke dalam pengertian epistemologi, sebab kata phylosopia merupakan padanan kata dari kata episteme, yang pada zaman Yunani Kuno episteme atau pengetahaun rasional menckaup Filsafat maupun Ilmu dan di antara keduanay tidak terdapat masalah besar atau kebutuhan penting untuk membedakan secara tegas kedua jenis pengetahuan tersebut.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, pada zaman renaisance yaitu sejak abad ke XVI terjadi perkembangan baru. Tokoh-tokoh pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Prancis Bacon dan pada abad beriktunya Rene Descartes dan Isac Newton memperkenalkan metod ematematik dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian, pengertian filsafat alam memperoleh arti khusus sebagai "The Sistematic studi of nature through the use of the methodes introduced by great reformers of the Renaisance and the early seventheth century" (Penelaahan terhadap alam mellaui pemakaian metode-metode yang diperkenalkan oleh pembharu dari zaman Renaisance dan awal abad ke-17).

Jadi sejak abad ke XVII filsafat alam sesungguhnya bukanlah pengetahaun filsafat, melainkan pengetahaun yang kini dikenal sebagai ilmu alam. Selanjutnya, cabang-cabang ilmu lainnya yang tercakkup dalam ilmu modern juga berkembang pesat berkat penerapan metode empiris yang makin cermat, pemakaian alat keilmuan yanag makin lengkap dan komunikasi antar ilmuwan yanag semakin meningkat.

Begitu pula, episteme berkembang menjadi cabang filsafat tersendiri yang kini kita kenal dengan sebutan epistemologi, yaitu sebuah cabang filsafat yang berkutat dengan dan dalam p engetahuan manusia mengenai realitas. Dalam lingkungan tomistik, filsafat pengetahuan merupakan studi kritis mengenai hakikat dan kondisi pengetahuan manusia, secara negatif ia dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempertahankan realitas filosofis melawan serangan kaum skeptis, agnostik, positivistik dan idealistik.

Masalah yang berkaitan dengan epistemologi ini sebenarnya para ahi filsafat berbeda pendapat dalam sisi etimolognya, walaupun mereka bersepakat dalam hal terminologinya walau dengan penyebutan yang berlainan. Untuk mendapatkan pengertian epistemologi secara lebih jelas, maka akan dibagi ke dalam dua bagian pembahasan, yaitu:

  1. Pengertian Secara Etimologi

Bila ditinjau dari sisi etimologi, epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme dan logis. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarati teori, uraian, kajian, atau alasan-alasan. Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan, logos lebih tepat diterjemahkan sebagai teori atau kajian (penyelidikan tentang). Jadi Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah Theory of Knowledge.

Dalam hal ini, ahli-ahli filsafat tidak berselisih faham, walupun pengertian episteme itu sendiri diartikan agak berlainan. Menurut konsepsi filsuf besar Yunani Kuno, yaitu Aristoteles episteme adalah "An organized Body of Rational knowledge with is proper objek" (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat).

The Liang Gie, mengartikan episteme, sebagai pengetahuan rasional. Sedangkan Christ Verhaak mengartikannya sebagai pengetahaun yanga dicapai mellaui sebab musabab (kausalitas) yang merupakan slah satu prinsip pengetahuan rasional, dan Titus dan kawan-kawan. Mengertikan dengan pengetahuan saja.


 

  1. Pengertian secara Terminologi

Dalam Dictionary of Phylosopy, Degobart D. Runs mengatakan bahwa epistemologi adalah sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keasian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.

Selain pengertian di atas, Epistemologi juga sering diartikan sebagai teri pengetahuan yang membahas segi imu pengetahuan, seperti : kemungkinan, asa muaa, sifat ami, batas-batas, asumsi dan landasan validitas serta reaibilitas sampai soa kebenaran. Selain itu, Epistemologi juga sering disebut sebagai teori pengetahuan (Theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan.

Sedangkan Renan sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, mengatkan bahwa Epistemologi adalah "The branch of philosopy with investigates the origin, structure, method and vaidity of knowledge" (Cabang filsfat yang meneliti keaslian, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan) dan menurut K. Bertens Epistemologi digunakan untuk menunjukkan filsfat ilmu pengetahuan daam arti suatu studi kritis tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa dan hasi-hasi berbagai ilmu, dengan maksud menentukan nilai dan jangkauan objektifnya. Selanjutnya Hardono Hadi mengatakan, bahwa Epistemologi adalah cabang filsafat yanga mempelajari dan mencoba menentukan skope pengetahuan, pengendalian-pengendalian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan yang dimiliki.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas kiranya dpat kita pahami dan menegaskasn dari pengjelasan di awal yaitu bahwa Epistemologi memiliki kajian yanag luas seluas kajian filsfat itu sendiri (khususnya metafiska sebagai disiplin yang terdasar dari filsafat), dan epistemologi juga disebut sebagai Theory of Knowledge yang menempatkan fenomena pengetahuan sebagai objek kajainnya, baik dari sisi kodrat, kemungkinan dan batas-batas pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya maupun sisi cara dan vaiditasnya sehingga apa yang diketahui dapat dipertanggungjawabkan.


 

  1. Hakekat Epistemologi

John Ziman dalam bukunya An Introductin to science Studies, mengatakan bahwa "The Fundamenta consern of epistemology is how much of this knowledge can be considers trus, or how firmly is should be beleaved" ( Titik tekan yang sngat fundamenta dalam epistemologi adah seberapa besar suatu pengetahuan dianggap benar atau sebeerapa kuat pengetahuan itu dapat dipercayai).

Dengan demikian Epistemologi secara umum dapat disebut sebaai usaha untuk menyeleidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengetahuan manusia. Maka, selanjutnya lahirlah pernyataan-pernyataan pokok dam bidang epistemologi, seperti 1) Apakah sumber pengetahaun ?; 2) Apakah hakikat pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya ? ini adalah persoalan tentang apa y ang tampak (appearance) versus hakikat (reality); 3) Apakah pengetahuan kit aiatu benar (valid) ? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah ? ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran (verification).

Tentang pernyataan di atas, Jujun S. Suriasumantri menyatakan, bahwa epistemologi itu bergelut dalam pernyataan-pernyataan bagaimana prss yang memungkinkan ditimbulkan pengetahuan ? Bagaimana prosedurnya, hal-hal apa saj yang harus diperhatikan agar kita dapat pengetahuan yang benar ? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita daam mendapatkan pengetahuan ?

Dari hal-hal seperti diuraikan di atas itulah, A. Hendrosantoso meringkas pernyataan-pernyataan itu menjadi bahwa epistemologi itu mempertanyakan hakikat dalam mendapatkan pengetahuan.

Selain itu, pembahasan ini pada daarnya adah bahwa epistemologi itu dibentuk oleh sistem sosia dan kultural, epistemologi waupun menganggap semau buday adan sistem makna sama, tetapi tidak menganggap sistem budaya dan sistem makna sama. Dan dari hal itu terjadilah kebangunan epistemologi dalam kehidupan ini. Sehingga menurut Gellner muncullah para penentanga epistemologi di Barat, seperti Wittgenstein, Heidegger Rorty dan lain-lain.

Begitulah seolah-olah epistemologi seau berubah-ubah, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri. Jadi, ketika pengetahuan tentang metafisika (ontologi) itu maju, maka pengetahuan tentang epistemologi pun mengikutinya. Bahkan, menurut Hardono Hadi, daam pembicaraan epistemologi tentang dasar-dasar dan pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya yang melebihi takaran minat kita.


 

  1. Sejarah Epistemologi

Secara antrpologis, epistemologi ini ternyata mengalami perkembangan metaforis. Setidaknya August Comte telah membagi tingkatan manusia menjadi tiga perkembangan intelektual, yaitu : Teologis atau fiktif, Metafisik dan Positivistik. Sedangkan Van Paursen membaginya menjadi fase Mistis, Ontologi dan Fungsional. Dengan demikian, ckaupan epistemologi tiap zman itu berbeda-beda walaupun berakar pada kesamaan menyikapi tentang pengetahuan secara kritis.

Jika pengklasifikasian waktu merupakan cara atau meteode yanga bijaksana untuk memahami perjalanan epistemologi, maka ada tiga periode dalam sejarah epistemologi.


 

  1. Periode Klasik

Pengetahuan tentang alam, atau usaha untuk menjelaskan gejala am, sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dahulu kaa. Diperkirakan nenek moyang kita tidak kuranag tajubnya memperhatikan berbagai kekuatan aam yang terdapat di sekeliling mereka, seperti : hujan, banjir, angin topan, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Mereka merasa tidak berdaya menghadapi kekuatan alam yang dahsyat yang dianggapnya luar biasa. Selanjutnya mereka mencobanya untuk menjelaskan untuk mengkaitkannya dengan mahluk yang luar biasa pula. Ha ini seiring berkembangnya berbagai mitos tentang para dwa berikut berbagai kesaktian dan perangaian. Inilah tahap mitologi dam pengetahuan manusia, dan ini pulalah yang merangsang lahirnya pernyataan epistemologi.

Sementara itu, negeri Yahudi, sejak sekitar tahun 600 SM sudah muncul sikap skeptis dengan menggunakan aka secara serius. Pada pemikir itu sering juga disebut para filosof yang mengandalkan bebitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat adalah mungkin (possible), meskipun beberapa dari mereka menyarankan supaya pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan daripada sumber-sumber tertentu daripada sumber lain. Sementara Heraclitus menekankan menggunakan indera, dan Parmendes menekankan peranan akal.

Sesbelum abad ke-15 SM keraguan seperti itu mulai muncul, dan para shofislah yang bertanggungjawab untuk keraguan itu. Para shopis bertanya seberapa juah pengetahuan kita mengenai kkodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif dan seberapa jauh merupakan sumbangan subjektif budi manusia ? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya ?

Protogoras, misalnya berpendapat bahwa keadaan sesuatu persis sam seperti mereka tampak seperti manusia. Maka dia mempunyai pernyataan yang sangat terkenal, yaitu manusia adalah ukuran dari segala sesuatu (man is the measure of al thing).

Sikap skeptis itu mengawali munculnya epistemologi, dan Plato-lah yang dapat dikatakan sebagai pencetusnya. Ha ini disebabkan karena dia menocba mengolah masalah-masalah dasar, yiatua : Apakah pengetahuan itu ? Dimanakah pengetahuan itu ditemukan, dan sejauh manakah apa yang kita anggap sebagai pengetahuan benar-benar pengetahuan ? Apakah indera memberi pengetahuan ? Apakah hubungan antara pengetahaun dengan keyakinan yang benar ?

Aristoteles menerangkan bahwa episteme itu adalah pengetahuan yang dicapai dengan sebab musabab (latin : Cognito percauses). Dia menunjuk sebab itu sebagai sesmua benda material, yiatu : formal cause, efficient cause dan final cause. "Sebab" menurut paham Aristoteles dapat diringkas sebagai asas pengertian dan berkat adanya asa itu pengetahuan itu dirubah dan disempurnakan menjadi episteme ilmu.

Setelah Aristoteles, filsafat (di Barat Kristen) termasuk di damnya epistemologi memasauki periode yang panjanb sekai kuran glebih 1500 tahun yang biasa disebut sebagai abad pertengahan (midle age) dapat dikatakan tidak menghasilkan penemuan, terutama bila dibandingkan dengan panjangnya rentang waktu. Rumus utama peride ini adalah "Credo utintelligam" (believe in order to understand atau percaya agar mengerti).

Di Timur pun begitu, pembicaraan tentang pengetahuan telah tertutupi dengan dogma-dogma, etika-etika, hikmah-hikmah dan lain sebagainya yang didasarkan pada milieu para filosof itu baik terhadap agama ataupun kepercayaan. Jelasnya, pada periode ini tidak ada perkembangan yang menonjol daam perjalanan epistemologi, dan masalah-masalah pengetahuan mulai dibicarakan pada masa modern.


 

3.2 Periode Modern

    Periode ini dimulai dengan adanya dobrakan Descartes (1496-1650) yang biasa digelari sebagai bapak filsafat modern. Ia berpengaruh terhadap agama Kristen dan menghidupkan kembai tradisi Yunani, yaitu rasinasime. Disinilah tonggak-tonggak renaisance mulai dipancangkan. Descartes meletakkan aka (logos) sebagai basis filsfat (rasionalisme). Setelah Descartes disebut pula tokoh lainnya daam airan ini, seperti : Voltaire dan lain sebagainya.

    Konsekwensi dari rasionalisme adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang sederhana namun dahsyat. Semua itu hanya dapat dijawab oleh aka secara deduktif. Tetapi itulah jalan "kepastian" yang pertama atas keraguan (skeptis) epistemologi.

    Ditengah-tengah kepercayaan terhadap aka yang begitu besar, muncullah airan yang lebih percaya pada pengalaman inderawi (empirik). Aliran ini dikenal dengan sebutan aliran empirisme.

    John Locke (1632-1704) sebagai bapak aliran ini, dan dia mengemukakan teori tabularasa (meja lilin). Maksudnya manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan menjadi kompleks (ruwet), lau tersusun menjadi pengetahuan yang berarti. Setelah John Locke pada aliran ini disebut pula tokoh-tokoh yang lainnya, seperti : David Hume dan Herbert Spencer.

    Pada urutannya aliran empirisme ini mendapatkan kritikan, yaitu dari George Berkeley (1685-1753) seorang uskup dari Gereja Anlikan, dia melontarkan kritik karena didorong oleh maksud-maksud ruhani di dalam filsafatnya. Adapun "substansi materia dari gagasan Locke" yang dianggap lepas dari budi merupakan mitos daam pandangan Berkeley. Jika kenyataan sejati bersifat spiritual, maka semua keberatan mengenai eksistensi Allah dan kebakaan jiwa runtuh pula. Bagi Berkeley, merupakan ha yang mudah untuk menunjukkan bahwa setiap dan semua kenyataan bersifat spiritual.

    Dalam kenyataan, porsi epistemologi itulah muncul adanya metode sains (scientific method) yang merupakan hasil kerja sama empirisme dan rasionalisme. Dari metode sains inilah muncul pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Sejak saat itulah sains maju pesat dan menjadi tiang utama dunia modern.

    Tetapi, pada akhir-akhir ini muncul ketidakpercayaan pada kondisi kemodernan (modernitas) berikut ilmu pengetahuannya yang dianggap telah merusak lingkungan dan kehiduapn manusia, dan disebabkan karena itulah muncul atau lahir dengan apa yang disebut Post Modernisme.


 

  1. Periode Post Modern

Kemodernan (modernitas) yang membawa dampak buruk pada lingkungan, krisis kehidupan dan sebagainya, itu telah dikritik oleh ahli ilmu pengetahuan atau saintis sebagai biang keladi pembawa bencana. Sains yang reduksionistik itu merupakan jawaban yanag kurang berhasil terhadap epistemologi.

    Sementara itu di dunia Islam pun kesadaran akan rapuhnya sistem sains modern (Barat) telah muncul. Bi antara hasil dari kesadaran itu dengan hadirnya konsep Islamisasi pengetahuan. Ismail al-faruqi dianggap sebagai tokoh teori ini. Sselanjutnya berturut-turut di setiap wilayah dunia msulim kemudian muncul tokoh-tokoh teori ini. Di Pakistan kita kenal Ziauddin Sardar, di Malaysia kita temukan Naquib Al-Attas dan banyak lagi para pemikir muslim yang mencoba menyusun jawaban epistemologis yang mennadikan nilai kebenaran Islam sebagai rujukan paradigmatik dan operasional dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

    Selain mereka, banyak lagi pemikir post modernisme (Barat maupun Muslim) ang terus mencoba membangun jawaban-jawaban epistemologis yang baru yang dirasa lebih tinggi, lengkap dan memuaskan daripada sebelumnya.


 

  1. Urgensi Epistemologi

Kekurangan-kekurangan berbagai pengetahuan sellau dikkontrol oleh epistemologi, maksudnya tidak lain adalah agar dapat diperole hpengetahuan yanga benar.

Dalam praktiknya kadang-kadang ditemukan orang yang ekstrim terhadap salah satu pengetahuan (ilmu, filsafat, atau agama) atau salah s atu sumber pengetahuan (indera, akal, intuisi, atau wahyu). Padahal, masing-masing pengetahuan itu dapat saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Pada akhirnya pengetahuan tidak tercapai dalam bungkusan-bungkusan yang rapih dan dapat ditelusuri pada sumber-sumber yang terpisah. Pengetahuan adalah hasil dari perkembangan yang didalmnya ada suatu oragansime-organisme yang hidup dan mempunyai kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan serta seallu berada dalam kontak dan pengaruh timbl balik dengan lingkungan yang bearubah, dari hubungan inilah timbul kesadaran.

Setiap organisme sadar akan berbagai hal : benda-benda, hubungan-hubungan, kejadian-kejadian dan pribadi-pribadi, perkenalan (acquaintance), bahasa, arti dan pemikiran.

Kristalisasi pengetahuan seperti itulah yang sangat diperhatikan oleh epistemologi. Pernyataan-pernyataan epistemologi berfungsi untuk "mengganggu" keterlenaan suatupengetahuan, dalam pengetahuan ilmiah, misalnya Poespoprodjo pernah mengatakan "lewat epistemologi, khususnya filsafat ilmu akan dapat dieksplisitkan asumsi-asumsi yang niscaya ada dan dilalui ilmu, tetapi biasa dilupakan ilmu."

Walaupun epistemologi sangat penting sebagai filsfat yang "mengganggu" pengetahuan, tetapi jawaban-jawaban pengetahuan itu selalu saja kurang, meleset, dan berjarak dari ketepatan. Sehingga Ernest Gellner pernah mengatakan bahwa epistemologi telah banyak memberikan penilaian terhadap berbagai ragam pengetahuan, dan hal itu tidak akan pernah berhasil.

Ringkasnya, bahwa epistemologi adalah sebagai sebuah kebijakan (filsafat) yang menghapuskan segala kesombongan (arrogantions) dan klaim-klaim kebenaran (truth claims) pengetahuan di antara manusia.

 


 

No comments:

Post a Comment