2/16/2011

Agama dan Pluralisme

  1. AGAMA

Agama adalah agama, agama adalah kebenaran, agama tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran, sehingga apa saja yang bertentangan dengan kebenaran berarti bertolak belakang dengan atau bukanlah agama.

Dan agama adalah kebaikan, sehingga apapun yang bertolak belakang atau bertentangan dengan kebaikan (naluri kemanusiaan) maka itu bukan agama. Agama berarti "A" yang berarti "Tidak" dan "Gama" yang berarti "Kacau", maka "Agama" berarti "Tidak Kacau", dan segala sesuatu yang bersifat chaos atau kacau tidak dapat dikatakan agama atau bagian dari agama.

Agama dapat dikatakan sebagai sebuah aturan, berfungsi mengatur tata cara kehidupan para penganutnya. Akan tetapi di dunia ini tidak hanya terdapat satu agama saja, melainkan banyak agama yang berarti bermacam-macam pula "agama" yang sebagai aturan atau berarti banyak aturan dan bermacam-macam serta cenderung berbeda-beda.

Mengingat fitrah manusia, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan meski terdominasi oleh kecenderungan terhadap kebaikan, kedamaian, keselamatan, keberuntungan, kebahagiaan dan lain-lain. Hal yang mendominasi tersebut menjadi sebuah tuntutan bagi suatu agama atau kepercayaan dalam bersaing dengan agama atau kepercayaan lainnya.

Karena suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci, yaitu kecenderungan kepada kebenaran.

Kebenaran, atau bisa dikatakan "Hal yang benar", adalah yang dimaksud. Sebuah kebenaran yang bisa disepakati seluruh manusia tanpa terkecuali, yang bisa diukur dalam nilai-nilai sosial, bukan kebenaran yang bersifat individual atau kelompok, dan masih ada pihak yang menentangnya.

Maka kebenaran dapat dikatakan meliputi kebaikan, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, kebahagiaan, kejujuran dan hal-hal lainnya yang bisa sepenuhnya disepakati oleh keseluruhan manusia tanpa terkecuali. Itulah kebenaran yang dimaksud. dan agama atau kepercayaan manapun, agama atau kepercayaan apapun, takkan bisa bertahan jika didalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan semua hal itu.

Karena agama untuk manusia, dijalani oleh manusia, dan manusia adalah manusia. Seburuk apapun orang yang satu dinilai oleh orang yang lainnya, orang yang satu itu tetaplah manusia. Begitupun orang yang lainnya, mereka pun tetaplah manusia.


 

  1. KEBERAGAMAAN

Keberadaan seorang manusia dibawah satu aturan (agama) sudah semestinya didasari atas kesepakatan dirinya sendiri, bukan paksaan dari siapapun, bukan karena siapapun. Akan tetapi karena keputusan dirinya sendiri-lah ia memilih satu agama atau satu aturan. Jika keberagamaan seseorang tidak didasari hal itu, maka inilah yang menjadi penyebab tidak berlakunya agama di dunia ini.

Mengingat manusia tidak sepenuhnya cenderung terhadap kebenaran, yang berarti terdapat pula kecenderungan terhadap ke-tidak-baikan. Yang berarti masih ada kemungkinan manusia untuk berbuat kesewenang-wenangan tanpa aturan, berbuat seenaknya dengan harapan dirinya sendiri puas. Maka aturan, yang terdapat didalam agama, yang saat ini ia akui, tidak akan berlaku. Karena ia memang tidak memiliki keinginan atau niat terhadap agama tersebut. Karena hal itu memberikan arti bahwa ia tidak menyepakati agama atau kepercayaan atau aturan yang ia pilih tersebut. Maka tidak berguna aturan apapun yang terdapat didalam agama.

Kalau agama itu memang benar namun tidak mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya?

Disinilah letak kesulitan agama untuk menjadi kebenaran yang satu. Kebenaran yang bisa membuat tidak ada lagi kebenaran didalam agama yang lainnya. Dan rintangan agama inilah yang banyak "melahirkan" kekacauan, kekerasan di dunia dewasa ini. Menyebabkan agama tidak memiliki arti "tidak ada yang benar" atau menyebabkan kebenaran dalam agama adalah relatif atau dapat dikatakan "saling melengkapi".


 

  1. PLURALISME

Secara psikologis perkembangan atas gagasan pluralisme lahir sebagai trauma Barat atas doktrin-doktrin yang ketat dari Gereja Katolik, yang menyentuh tidak hanya relung religius dari masyarakat melainkan sampai kepada kehidupan sosial dengan mewujudkan dirinya dalam sebuah kekuasaan Negara. Hegemoni Paus dan Gereja, pada saat itu justru memunculkan semangat baru dari masyarakat untuk mewujudkan dirinya dalam sebuah Nation-State. Dimulai dengan pemikiran filosofis Machiavelli (The Prince), gerakan ini kemudian memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dalam revolusi Prancis yang agung (1789-1799) dengan semangat "Liberte, Egalite, Fraternite ou la mart". Sejak saat itulah pluralisme mengejawantah dalam karya-karya dari Rousseau, Voltaire, De Secondat ataupun Montesqiueu.

Pendapat lain berkaitan dengan kelahiran gagasan pluralisme, bahwa pluralisme merupakan hukum Tuhan bagi umatNya yang berlaku secara tetap dan abadi, sehingga tidak mungkin untuk dirubah ataupun diingkari. Sebagaimana Q.S. 49:13;



 


 


 


 

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.


 

Pola pluralitas selalu memerlukan adanya titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Sementara dari sudut pandang Islam, mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang sangat penting.

Didunia saat ini, semakin kuat berdirinya perang kebenaran. Agama yang satu menjatuhkan agama yang lainnya. Hal ini menyulut terjadinya gontok-gontokan, atau kekerasan, bahkan peperangan, antar agama, yang kesemuanya itu mengatasnamakan "Kebenaran Agama".

Hal ini menyangkut penderitaan, kematian, kerugian, ketidak-bahagiaan, kekacauan. Hal ini justru memberikan agama sebuah image yang tidak seharusnya dimiliki oleh agama. Hal ini menghancurkan definisi atau arti agama yang sesungguhnya. Hal ini merusak agama, dan merugikan manusia sebagai penganut agama-agama.

Pada satu sisi, pluralisme difahami sebagai sebuah fenomena problematika sosial dari perjalanan sejarah manusia yang jika tidak disatukan, maka akan sangat potensial menyulut konflik berkepanjangan antar sesama manusia. dan karena itu, Tuhan kemudian dengan penuh kasih menurunkan agama sebagai jembatan bagi misi penyelamatan umat manusia dari konflik. Pendeknya, semua manusia harus berada di bawah satu payung agama.

Setelah selama ini agama menjadi "tema" atas gerakan-gerakan kekacauan atau peperangan antar manusia. saat ini pluralisme, yang pada awalnya ditujukan atau dimaksudkan_mungkin_untuk menjadi solusi kekacauan tersebut, untuk menjadi "jalan tengah" atas perbedaan-perbedaan diantara agama-agama. Namun yang terjadi justru tidak seperti yang diharapkan, pluralisme menjadi sebuah misteri, memiliki berbagai definisi, bahkan pluralisme divonis sebagai sebuah "agama baru".

Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan dari pluralisme tersebut. Jika tidak difahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama. Pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

  1. EKSKLUSIVISME

Sikap eksklusivisme inilah yang selama ini menjadi kekuatan seseorang tetap teguh menganut sebuah agama. Sikap sebelah mata inilah yang sebenarnya dapat menyulut perselisihan antar agama. Dimana seseorang menganggap agamanya sendiri adalah satu-satunya kebenaran atau satu-satunya agama yang benar, dengan keyakinan, bahwa agama yang lainnya adalah agama atau kebenaran yang salah.

  1. INKLUSIFISME

Sikap inklusivisme, pun selama ini tersebar diantara manusia, meski sebagian saja. Mungkin atas sikap inilah selama ini masih ada tempat-tempat atau daerah-daerah yang bisa hidup berdampingan dalam lingkungan yang berbeda agama. Didalam sikap ini terdapat kebijaksanaan, dimana seseorang tetap menganggap agamanya adalah agama yang benar, karena itu ia menganutnya, akan tetapi ia meyakini pula didalam agama lainpun mengandung kebenaran.

  1.  
  2. PLURAL

Meskipun sikap ini memberikan arti yang secara umum bisa memberikan pemikiran bijaksana seperti halnya inklusivisme, karena memandang bahwa semua agama adalah sama. Akan tetapi pada saat bersamaan sikap ini bisa "membunuh" makna sebuah agama, dan hal ini tentu menuntut "terciptanya" satu agama baru yang menyatukan semua perbedaan itu.

  1. TOLERANSI

Mungkin seharusnya "ajaran" inilah yang menjadi "pribadi" dalam setiap manusia. baik "yang beragama" ataupun bagi "yang tidak beragama". Sikap ini penuh kebijaksanaan, sikap ini yang sebenarnya bisa menjadi "penengah" atas konflik-konflik antar agama selama ini. Sikap menghargai antar sesama manusia, antar sesama umat beragama, sikap menghargai atas perbedaan-perbedaan yang terdapat pada segala sesuatu di dunia, termasuk manusia.

  1. PLURALISME

Pluralisme harus difahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban, yang berarti terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan sehingga terwujud keselamatan bagi umat manusia.

Pluralisme bukanlah diversitas tetapi merupakan perjanjian yang penuh semangat dalam keragaman, pluralisme bukan sekedar toleransi melainkan usaha aktif untuk saling memahami perbedaan lintas batas; pluralisme tidak sama dengan relativisme tetapi merupakan pertemuan dari beberapa komitmen; serta pluralisme didasarkan pada dialog.

Maka dialog adalah bertemu, membahas secara mendalam, memberi dan menerima dengan penuh kearifan, kritis, termasuk kritis terhadap faham dan keyakinan masing-masing.

Pluralisme tidak bisa difahami dengan hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya menggambarkan kesan fragmentasi dan bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekedar sebagai "kebaikan negative" (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus difahami sebagai "pertalian sejati dalam ikatan-ikatan peradaban" (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.

pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagamaan, harus dapat hidup berdampingan.

Memang, jika pluralisme hanya diartikan sebagai sebuah sikap menghargai terhadap segala perbedaan baik perbedaan dalam segi pemikiran, ras, agama atau perbedaan lainnya tentu berarti pluralisme tidak berbeda dengan toleransi. Akan tetapi dari berbagai definisi yang ada mengenai pluralisme, pluralisme memang bukan hanya sekedar toleransi.

Sehingga pluralisme bermakna lebih dari sekedar menerima keberadaan realitas plural yang ada di dunia ataupun bukan sekedar memandang pluralisme hanya sebagai sebuah faham tentang pluralitas.

Bahwa agama-agama lain mungkin berbicara secara berbeda dengan agama kita tetapi tetap dimungkinkan bahwa mereka juga memiliki kebenaran yang sama validnya dengan agama kita. Kebenaran agama, oleh karenanya, tidak dimonopoli oleh satu agama saja akan tetapi bersifat plural.

Agama-agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama yang kita anut. Dalam wujudnya untuk mencapai suatu kebenaran.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, sikap menyamakan semua agama, meski hal itu dapat "meredakan" perbedaan yang ada, namun hal itu pun secara bersamaan dapat "membunuh" makna dan kebenaran suatu agama. Dan selain itu, sikap tersebut bisa membuat bingung para penganut agama.

Karena jika memang semua agama sama, itu mengartikan agama manapun yang kita pilih, kita akan tetap selamat. Dan berarti "kebenaran yang satu", tidak akan pernah tercipta. Jika begitu, tidak heran jika suatu saat muncul pemikiran untuk menciptakan sebuah agama baru dengan kapasitas sebagai "kebenaran yang satu", karena memang agama tersebut dibuat dengan mengambil dan menyatukan kebenaran-kebenaran yang ada dalam setiap agama-agama yang ada selama ini.

Dan jika begitu, berarti Yahudi dengan Taurat atau Talmudnya tidak lagi berguna, Nasrani dengan Injil atau Al-Kitab-nya pun sama. Islam dan Al-Qur'an pun tak lagi berguna. Begitupun Buddha dengan Tipitaka-nya, dan agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan lama lainnya pun bernasib sama.

Beginikah seharusnya?

Walloohu Wa Rosuuluhu Know Better!!!


 

  1. AGAMA DAN PLURALISME

Hubungan antara agama dan pluralisme adalah sebuah hubungan kodrati, sehingga tidak cukup dibedah dengan hanya bermodalkan asumsi atas nama kemajemukan, kosmopolitanisme, relitivisme atau juga sinkritisisme agama. Namun lebih dari itu adalah bagaimana sikap apresiatif pandangan agama terhadap pluralisme bisa melembaga kedalam mentalitas para tokoh agama dan lebih-lebih lagi setiap umat atau pemeluk agama.

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh agama pada era modern ini bukanlah datang dari kaum ateis, melainkan justru dari para penganutnya sendiri, yang secara lantang meneriakkan Tuhan di berbagai momen-momen kekerasan. Dan dengan atas nama Tuhan pula, para pengikut agama ini melakukan tindakan-tindakan yang justru diharamkan oleh agama.

Mulai dari pertarungan Katolik-Protestan di Irlandia, Perang Bosnia-Serbia, Konflik Hindu-Islam di India, Teror gas sharing Aum Shinrikyo di subway Tokyo, Peristiwa WTC 9/11, Teror bom di subway London oleh Hizbut Tahrir, Bom Bali I & II dan Bom Marriot di Jakarta sampai dengan kebangkitan fundamentalisme Kristen Jesus camp di Texas, ceramah-ceramah Pat Robertson, Jerry Falwell dan Billy Grahama di Amerika, dan semangat one nation oleh Paulinne Hanson di Australia, yang kesemuanya mengatasnamakan Tuhan dan memaknainya sebagai sebuah tugas suci yang harus dituntaskan, menjadikan agama begitu agresif dan garang.

Agama kemudian berkembang dengan rasionalitasnya sendiri yang sangat irrasional bagai penyebaran waham secara massif. Agama seakan bangkit bukan untuk menebar kedamaian tapi justru mengabarkan kekerasan dan permusuhan antar manusia. Agama dan kaum ulama menjadi lemah dihadapan kaum ateis, dengan pertanda awal bahwa bukanlah ateisme yang berbahaya bagi kemanusiaan dan peradabannya melainkan ulama dan agamalah yang terus menerus menyebarkan pandangan-pandangan obskurantis yang sangat anti kemajuan.

Agama dan Pluralisme (sepanjang pluralisme diartikan sebagai sebuah sikap toleransi mendalam dengan dialog antar agama) memang sebuah keniscayaan, suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dan suatu hal yang memang seharusnya. Maka agama adalah salah satu objek pluralisme, yang harus disikapi sebagaimana mestinya agama, pluralisme dan manusia bersikap.

Pluralisme sebagai potensi dan khazanah bangsa Indonesia hari ini kembali harus direkonstruksi jika bangsa Indonesia masih memiliki optimisme membangun sebuah tata warga bangsa madani yang apresiatif terhadap khazanah warga bangsa yang dimiliki. Harus ada komitmen kuat dari kalangan agamawan untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa beragama, berbudaya atau beradaban yang menghormati dan menjunjung tinggi pluralisme sebagai platform kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Slogan Bhineka Tunggal Ikanya (berbeda-beda tetapi tetap satu) harus implementatif dalam sikap hidup keseharian penganut agama.

Bangsa ini memerlukan sebuah pandangan pluralisme sebagai langkah akomodatif terhadap pemeliharaan dan pengembangan khazanah potensi bangsa secara internal dan kontributif bagi sebuah pandangan hubungan kemanusiaan antar pemeluk agama baik dalam konteks nasional dan mondial. Untuk itu, sosialisasi pluralisme sebagai suatu proses edukasi dari proyek kebajikan harus sebisanya diterjemahkan kedalam strategi pelembagaan kesadaran pluralisme menjadi mentalitas setiap umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Proses ini harus dimulai dengan usaha-usaha penanaman kesadaran pluralisme baik lewat lembaga-lembaga pendidikan formal, pelatihan-pelatihan advokasi dan yang lebih penting adalah bagaimana agar ada political will (kebijakan) pemerintah yang secara sungguh-sungguh mendukung proses penyadaran dimaksud secara serius dan sistematis.

Namun agama dan pluralisme (dengan artian pluralisme sebagai faham menyama-ratakan semua agama) memerlukan sebuah rekonstruksi pemikiran dan persiapan untuk menghadapi "resiko" atas pluralisme tersebut. Karena hal itu dapat menjatuhkan setiap agama dan melahirkan sebuah agama baru, yang tentu saja, akan menyulut perselisihan yang lebih besar daripada perselisihan selama ini.

Penolak pluralisme menurut Biyanto seringkali memposisikan wacana ini (pluralisme) sebagai bagian dari sekularisme dan liberalisme, sehingga lahir istilah Siplis, kependekan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor: 1/Munas VII/MUI/2005 tanggal 29 Juli 2005 sendiri, ketiga faham (SIPILIS) itu telah divonis sesat.

Pluralisme yang difatwakan sesat oleh MUI itu merupakan faham yang mengajarkan bahwa semua agama sama yang karenanya kebenaran setiap agama dinilai relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Disini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di Negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.


 

  1. KESIMPULAN

Faktanya, kekacauan bisa dikatakan masih merajalela atau bisa dikatakan semakin merajalela. Terutama menyangkut agama, mengatasnamakan agama. Awal abad 20-an Ernst Troeltsch seorang teolog Kristen asal Jerman yang mengemukakan urgensi sikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal antar umat Kristiani maupun antar agama, ia menambahkan lagi bahwa umat Kristiani tidak berhak untuk mengklaim dirinya benar sendiri (truth claim).

Jadi kesimpulannya adalah bahwa pluralisme itu sendiri membutuhkan rekonstruksi definisi, sebuah arti yang menyendiri jika memang pluralisme diharapkan menjadi "penengah" atau solusi atas konflik antar agama selama ini.

Sikap fanatisme dalam keberagamaan para penganut agama-agama pun harus ditindak lanjuti jika memang agama itu ingin dikatakan benar. Karena kebenaran itu relatif, mengingat agama-agama itu berbeda-beda.

Maka agama dan pluralisme pada satu sisi saling berhubungan sebagai suatu kebutuhan atau kelengkapan. Namun pada sisi lain, agama dan pluralisme adalah dua term yang tetap pada akhirnya akan dan harus dimenangkan oleh salah satunya.

No comments:

Post a Comment