2/16/2011

Studi Kasus TQN (Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah)


Latar Belakang Masalah

Agama di satu pihak menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan perdamaian. Namun di pihak lain, semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasikan perpecahan, bahkan kekerasan (Burhanuddin, 1993: 188).
Sejalan dengan realitas bahwa pada zaman sekarang ini hampir dalam setiap agama terdapat didalamnya perpecahan bahkan kekerasan diantara umatnya baik dalam satu agama yang sama (intra-agama) maupun diantara agama-agama yang berbeda (inter-agama).
Dalam agama Islam, salah satu dari sekian banyak kontroversi didalamnya ialah mengenai dipandanganya istilah bai'at sebagai bid'ah dan sesat dikalangan sebagian umat Muslim. Namun sebaliknya bagi sebagian Muslim yang lain, justru bai'at merupakan sesuatu yang sangat penting bahkan krusial.
Diantara pendapat-pendapat yang menolak untuk membenarkan pengaplikasian bai'at pada zaman sekarang ini ialah karena mereka berpendapat bahwa bai'at hanya untuk diberikan kepada Waliyul Amr-nya umat Muslim saja, yang satu, dan tidak berbilang (banyak). Yakni seperti yang terjadi pada masa Rasulullah atau pada masa kekhalifahan (sahabat). Sedangkan bai'at-bai'at yang ada dalam setiap kelompok pada masa kini dipandang sebagai bai'at-bai'at yang bid'ah (diada-adakan) dan sesat menyesatkan. Dan sebagaimana diketahui bahwa pada zaman sekarang ini terdapat begitu banyak kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi berlabel Islam yang mengaplikasikan pembai'atan (bai'at), maka secara otomatis dari hal itu bai'at yang terjadi pun banyak (berbilang).
Adapun hal-hal lainnya yang memancing atau menyebabkan lahirnya kontroversi terhadap bai'at adalah dikarenakan ada sebagian kelompok yang mengaplikasian bai'at dengan konsekuensi bahwa yang tidak berbai'at kepadanya (pemimpin kelompok tersebut) maka ia dianggap kafir (keluar dari Islam) dan halal darahnya.
Bai'at, dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti pelantikan secara resmi atau pengukuhan atau pengucapan sumpah setia kepada pemimpin (imam, dan sebagainya). Dari pengertian ini berarti dapat diartikan bahwa bai'at-bai'at yang ada pada hampir setiap kelompok atau organisasi sekarang ini tidak lain adalah sebuah bentuk pelantikan atau pengucapan sumpah bahwa ia (yang berbai'at) mengukuhkan diri sebagai salah satu anggota dalam kelompok tersebut dan akan senantiasa mengikuti aturan-aturan didalamnya dan menjadikan pemimpin kelompok tersebut sebagai pimpinan atas dirinya sebagai anggota kelompok.
Maka dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa bai'at merupakan sebuah bentuk pengucapan sumpah atau perjanjian seseorang terhadap seseorang yang lainnya.
Seperti yang terdapat dalam salah satu kelompok atau organisasi dalam Islam yakni organisasi tasawuf yang telah disistematiskan menjadi sebuah kelompok yang dikenal dengan sebutan tarekat. Tarekat, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Nicholson (1963: 28) bahwa kaum sufi (para pengamal tasawuf) dalam rangka mencari Tuhan, menyebut dirinya sebagai salik (pengembara). Dalam pengembaraannya ia secara bertahap dan perlahan mencapai maqamat (tingkatan-tingkatan) dari tingkat manusia biasa sampai dengan tingkat "kewalian" melalui metode, jalan, atau cara-cara yang disebut tarekat. Melalui tarekat seorang sufi dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata atau menurut istilah sufi, fana fil Haq.
Martin Van Bruinessen (1996: 15) juga berpendapat bahwa secara harfiah tarekat berarti "jalan" mengacu pada suatu system latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Bisa dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf.
Dari penjelasan-penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tarekat merupakan bentuk organisasi dalam tasawuf atau organisasi yang mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya yakni dalam tarekat dikenal pula istilah bai'at (pembai'atan). Dengan pengertian bahwa bai'at merupakan sebuah bentuk pengucapan sumpah atau perjanjian seorang murid terhadap mursyid (sebutan guru dalam tarekat) dalam rangka mengukuhkan dirinya sebagai anggota dalam tarekat dan akan senantiasa melaksanakan ajaran didalamnya sebagaimana sang mursyid mengarah atau mengajarkan. Bahkan diperkuat mengenai posisi atau kedudukan bai'at dalam tarekat sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Mulyadi bahwa pembai'atan merupakan pintu masuk bagi penganut tarekat, dan pendapat yang dikemukakan Mufid (2006: 192) bahwa seorang pengamal tasawuf barulah sah disebut sebagai murid dari seorang mursyid jika ia telah mengangkat sumpah atau perjanjian yang disebut bai'at.
Dari sini, hal lain yang perlu diketahui dimana hal ini merupakan sisi menarik serta merupakan sebab dipandang perlunya penelitian ini dilaksanakan ialah menurut istilah ulama tasawuf, Ahmad Khatib, bahwa tarekat adalah jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dan Khalli (1990: 10) berpendapat bahwa tarekat merupakan tingkat ajaran pokok dalam tasawuf, sedangkan tasawuf adalah ajaran yang diamalkan oleh para sufi terdahulu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dimana hal mengenai pendekatan diri kepada Allah tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Maa'idah yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
(#þqäótGö/$#ur
Ïmøs9Î)
s's#Åuqø9$#
(#rßÎy_ur
Îû
¾Ï&Î#Î6y
öNà6¯=yès9
šcqßsÎ=øÿè?
ÇÌÎÈ

 
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Penjelasan diatas bermaksud menyampaikan bahwa dalam tarekat diajarkan mengenai ilmu tauhid (tentang keesaan Allah), fiqh (ilmu untuk keseharian orang Muslim), tasawuf, serta mengajarkan tentang taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Yang dapat diambil kesimpulan dari hal ini bahwa tarekat bukan merupakan kelompok atau organisasi yang didalamnya berisi hal-hal yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama Islam atau sesat. Bahkan Qur'an sendiri, sebagai kitab suci agama Islam, mengakui keselarasannya dengan ajaran dalam tarekat sebagaimana ayat Qur'an diatas.
Dari sinilah, dari uraian-uraian diatas, mengapa hal tentang bai'at ini menjadi menarik yakni di satu sisi bai'at dipandang sebagai bid'ah dan sesat akan tetapi disisi lain ia (bai'at) eksis di salah satu kalangan kelompok dalam agama Islam yakni tarekat yang bahkan diperkuat kembali sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra (1999: 34) bahwa organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar didunia Islam. Sesudah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk Indonesia. Serta pendapat yang dikemukakan oleh Mukti Ali (1971: 5) bahwa khusus di Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual di Indonesia bukanlah ahli syari'ah melainkan syekh tarekat. Dan pendapat lainnya yang memperkuat positivitas eksistensi tarekat bagi agama Islam ialah sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekatlah islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung dengan damai. Maka dari hal-hal inilah alasan perlunya dipelajari lebih dalam dan diteliti dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi dengan bai'at sehingga lahir kontroversi tentangnya.
Adapun dalam penelitian ini, mengingat banyaknya tarekat-tarekat yang ada di dunia, hanya akan ditujukan pada salah satu tarekat terbesar yang ada di Indonesia yakni Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang salah satu cabangnya adalah berada di Pesantren Suryalaya yang terletak di kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dengan mengambil sebuah judul "STUDI KASUS PENGIKUT TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH DI PESANTREN SURYALAYA".

 

Rumusan Masalah

Sebagaimana uraian-uraian diatas, maka masalah-masalah yang harus dirumuskan pada penelitian ini adalah:
  1. Bagaimana latar belakang historis munculnya praktik bai'at dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  2. Bagaimana bentuk atau ritual serta isi pembai'atan yang diaplikasikan oleh para penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  3. Apakah makna dan tujuan dari praktik pembai'atan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?

 

Tujuan Penelitian

Sebagaimana masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui:
  1. Latar belakang historis munculnya praktik bai'at dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  2. Bentuk atau ritual serta isi pembai'atan yang diaplikasikan oleh para penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  3. Makna dan tujuan dari praktik pembai'atan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?

 

Kerangka Pemikiran

Agama mendasari sejarah manusia dan merupakan sinar dan nyawa sejarah, dan tanpa agama sejarah apapun menjadi tidak suci (Mukti Ali, 1992: 4-5).
Sejarah agama berusaha untuk mempelajari dan mengumpulkan fakta asasi dari agama, juga berusaha menilai data tarikhi dan mendapatkan gambaran yang jelas yang konsepsi tentang pengamalan keagamaan dapat dihargai dan difahami (Adeng M. Ghazali, 2000: 24). Sejarah agama menetapkan fakta bagaimana suatu bangsa, umat, sekte, dan orang-orang tertentu serta dalam waktu tertentu dipelajari dan difikirkan (Depag, 1985: 71).
Dengan pembahasan sejarah, fakta-fakta pada masa lalu dapat ditemukan dan dijadikan sebagai fakta asasi (dasar) atau fakta asal (sebagai awal mula/asal-usul) untuk selanjutnya dicari nilai-nilai terhadap fakta tersebut dan dengan hal itu akan mampu juga memberikan keterangan yang jelas dan dibuat menjadi sebuah konsepsi sebagai gambaran yang mampu membuat fakta tersebut dihargai eksistensinya dan difahami baik definisi maupun maknanya.
Dan sebagaimana pendapat-pendapat diatas bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu (dalam sejarah) selalu didasari oleh agama, maka karena itu segala yang terjadi pada masa kini yang sifatnya turun-temurun atau secara terus menerus dari generasi ke generasi sejak zaman dahulu baik faham maupun praktik sangat dimungkinkan bahkan diasumsikan pasti, memiliki makna keagamaan.
Selanjutnya, Emile Durkheim menguraikan agama dalam arti yang umum bahwa

Rukun Iman dan Syahadatain

RUKUN IMAN DAN SYAHADATIN

(Relevansi antara Rukun Iman dan Syahadatain [Rukun Islam yang Pertama], dengan Upaya Pendefinisian Bai'at [Pembai'atan] sebagai Syahadat)


 

BAB I. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Agama, merupakan salah satu topik pembicaraan yang kerap selalu hangat di kalangan para pemikir. Mulai dari persoalan definisi, makna, hingga mengenai manfaat dari ke-eksistensiannya. Yang hingga kini masih menjadi pembicaraan serta perdebatan seolah tidak akan pernah tuntas terutama di kalangan teolog, atheis dan para pemikir.

Adapun diantara beberapa definisi yang penulis dapatkan terhadap kata "Agama" adalah kalimat/kata "Agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam bahasa Indonesia berarti "Peraturan". Dalam pengertian ini, Asal kata "Agama" yaitu "A" yang berarti "Tidak" dan "Gama" yang berarti "Kacau". Maka jika disatukan "A" dengan "Gama" yang berarti menjadi "Agama", memiliki kesatuan arti menjadi "Tidak Kacau'. Dan dalam pengertian ini, keadaan yang tidak kacau sebagai bentuk adanya sebuah peraturan. Namun juga terdapat pada keterangan lain mengenai arti dari agama ini yaitu memiliki arti "Tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah "Religi" yang berasal dari bahasa Latin "Religio" dan berakar pada kata kerja "Re-Ligare" yang berarti "Mengikat Kembali". Atau didalam kamus ilmiah bahasa Indonesia "agama" berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, 'aqidah, din.

Di dunia ini terdapat berbagai macam agama sebagaimana di Negara Indonesia pun tidak hanya terdapat satu agama saja melainkan bermacam-macam seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Kong Hu Chu dan beberapa aliran kepercayaan lainnya. Tentunya, dengan berbagai macam definisi dan cara serta ajaran-ajaran yang berbeda-beda di setiap masing-masingnya. Akan tetapi disini, penulis hanya akan membicarakan terhadap atau tentang satu agama saja yaitu agama Islam. Adapun dari pada itu, penulis akan membatasi pembicaraan atau pembahasan ini seputar 'aqidah dan fenomena dalam agama Islam saja.

Beragama adalah dorongan naluri manusia sebab meyakini adanya kekuatan ghaib, kekuatan yang melebihi dan mempengaruhi segala tenaga dan usaha manusia serta mengatur masyarakat. Diantara tabiat manusia, tabiat mempercayai agama ini adalah tabiat yang tertua dan sudah berurat-berakar pada sanubari manusia (Ibrahim Lubis, 1975: 41).

Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi ini, membawa suatu tabiat dalam jiwanya, yaitu tabiat ingin beragama. Yaitu ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang dianggapnya Maha Kuasa (Agus Hakim, 2004: 11).

Adapun sebuah bentuk keyakinan saja tidak cukup menjadikan alasan untuk bisa disebut sebagai agama. Artinya, agama merupakan sebuah institusi yang didalamnya memiliki beberapa sistem keorganisasian. Lord Herbert (dalam Adeng M. Ghazali, 2000: 14) mencirikan beberapa aspek yang disebut agama:

  1. Ada Dzat Yang Suci
  2. Ada Unsur Penyembahan
  3. Ada Tujuan Kebaikan
  4. Ada Unsur Tobat, dan
  5. Ada Sanksi, yakni Pahala dan Dosa

Dimana lima aspek diatas mirip juga dengan apa yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1988: 56) sebagai berikut:

  1. Keyakinan, yakni Doktrin Agama
  2. Praktek Agama, meliputi Pemujaan dan Ketaatan
  3. Pengalaman Agama
  4. Pengetahuan Agama, dan
  5. Konsekuensial.

Agama Islam, sebagai salah satu agama besar di dunia. Dengan bentuk ketuhanan, keyakinan, ajaran serta sistem penyebaran keagamaannya seperti:

  1. Allah SWT sebagai Ketuhanan/Sesembahan
  2. Muhammad SAW, sebagai Penyampai Risalah/Rasul
  3. Al-Qur'an, sebagai Kitab Suci,
  4. Muslimin dan Muslimat, sebagai Pengikut, serta
  5. Sanksi/konsekuensi Beragama, yang terlingkup dalam Ajaran Islam.

Dari kelima hal diatas, menjadikan Islam bisa disebut sebagai agama dan diakui bahkan memiliki pengikut terbanyak/mayoritas di Indonesia. Dan memiliki predikat sebagai salah satu agama besar di dunia.

Definisi agama Islam adalah apa yang diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan umat baik urusan dunia atau akhirat (Ibrahim Lubis, 1975: 107).

Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan pada segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Makna Islam dalam bahasa Arab ialah masuk dalam keselamatan atau perdamaian; menyerah diri, tunduk dan sebagainya. Artinya dalam istilah Muslimin, ialah agama penyerahan diri kepada Allah. Kalimat agama, menurut istilah pemeluk Islam ialah sejumlah i'tikad, kepercayaan-kepercayaan, undang-undang, peraturan-peraturan, pelajaran-pelajaran, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diwahyukan Allah SWT kepada manusia, dengan perantaraan seorang Rasul.

Dari uraian-uraian diatas, penulis cukupkan sampai disini sebagai pengenalan mengenai agama dan Islam. Dan kembali pada poin pembahasan yang menjadi tujuan penulis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pembicaraan ini akan dibatasi seputar 'aqidah dan fenomena dalam agama Islam saja. Untuk itu agar tidak menyimpang lebih jauh dari pokok pembahasan, baiknya mulai penulis awali untuk masuk pada pokok pembahasan.

'aqidah Islam, seperti yang pada umumnya diketahui oleh seluruh orang Muslim (Muslimin), yang mana merupakan dasar/asas keberagamaan Islam adalah seperti yang dikenal dengan sebutan Rukun Iman. Imam Zarkasyi (1989: 15) menyebutkan, manusia yang hidup ini senantiasa ingin tahu, dan lagi harus tahu, bagaimana kepercayaan yang harus diyakininya, dan bagaimana pula kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan. Untuk itu orang harus mengetahui dan mempercayai pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam, dan harus mengetahui dan menjalankan pokok-pokok kewajiban sebagai seorang Islam. Pokok-pokok kepercayaan itu disebut "Rukun Iman".

Adapun Rukun, yang berarti sendi atau tiang atau dasar, dan Iman yang berarti keyakinan, atau hal-hal yang wajib diyakini. Tersusun dalam Rukun Iman, sebagai berikut:

  1. Iman Kepada Allah
  2. Iman Kepada Malaikat
  3. Iman Kepada Kitab-kitab Allah
  4. Iman Kepada Para Rasul
  5. Iman Kepada Hari Akhirat, dan
  6. Iman Kepada Qadha' dan Qadar

Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab ra. Dia berkata: "ketika kami berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya... orang itu berkata: 'Beritahukan kepadaku tentang Iman', Rasulullah menjawab: 'Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada Utusan-utusan-Nya, kepada Hari Kiamat dan kepada Takdir yang baik maupun yang buruk'" (H.R. Muslim no. 8).

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa 'aqidah Islam yakni terdiri dari mengetahui dan mempercayai ke enam rukun diatas. Yang berarti tanpa pengetahuan dan kepercayaan tentang dan kepada enam hal tadi, seseorang tidak bisa disebut sebagai ber'aqidah Islam. Dan untuk bisa memiliki 'aqidah Islam, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu dan mempercayai ke enam rukun tadi. Yakni iman/percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, kepada Hari Akhirat, serta kepada Qadha dan Qadar yang baik maupun yang buruk. Barulah setelah itu ia bisa dikategorikan sebagai ber'aqidah Islam.

Adapun agama Islam dalam tingkatannya, setelah Rukun Iman sebagai bentuk keyakinan atau pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam, terdapat juga asas/dasar lainnya yang menjadi pokok-pokok kewajiban bagi pemeluknya. Dimana pokok-pokok kewajiban itu disebut Rukun Islam, yang terdiri dan tersusun sebagai berikut:

  1. Syahadat
  2. Shalat
  3. Zakat
  4. Puasa
  5. Haji

Urutan pada Rukun Islam diatas, disusun berdasarkan beberapa dalil seperti berikut:

عـن ابـن عـباس أ ن مـعا ذا قـال إنـك تأ تي قـوما من أهـل الكـتـاب، فـلـيكـن أول ما تـدعـوهـم إلـيه شهادة أ ن لا إله إلا الله - وفي رواية : إلى أ ن يـوحد وا الله -، فإ ن هـم أطاعـوك لذ لك فـأعـلمهم أن الله افـتـرض عـلـيـهم خـمـس صلـوات في كل يوم ولـيلة، فإ ن هـم أطاعـوك لذلك فأعـلمهم أن الله افـتـرض عـلـيهم صد قة تـؤخذ من أغـنـيائهم فـترد على فـقـرائهـم، فإ ن هـم أطاعـوك لـذ لك فـإ يا ك وكـرائـم أمـوالهـم، واتـق دعـو ة المظلوم فـإ نه لـيـس بـيـنها وبـيـن الله حجا ب

"Sungguh kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang harus kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat La Ilaha Illallah – dalam riwayat yang lain disebutkan "supaya mereka mentauhidkan Allah"-, jika mereka mematuhi apa yang kamu dakwahkan, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mematuhi apa yang telah kamu sampaikan, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan pada orang-orang yang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya  dan Allah".

عـن ابـن عـمر عـن الـنـبـي صلى الله عـلـيه وسلم قـال : بـني الإسـلا م عـلى خـمـسة عـلى أ ن يـوحـد الله وإ قـا م الـصـلا ة وإ يـتاء الـزكا ة وصـيـا م رمـضـا ن والـحج

"Ibnu Umar ra. Berkata: Nabi SAW bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara, mengesakan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan haji".

Dan dalam keterangan lain disebutkan:

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullahu shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada illah selain Alloh dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah,menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka ada pada Alloh ta'ala.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ [رواه البخاري ومسلم ]

"Dari Ibnu 'Umar 'Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara harta dan jiwanya dari aku kecuali karena alasan yang hak dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah ta'ala'" (H.R. Bukhari dan Muslim).

Telah cukup jelas dari beberapa dalil diatas tentang Rukun Islam, dalam urutan yang dipaparkan diatas. Adapun tak dapat dipungkiri beberapa keterangan lain yang menerangkan urutan Rukun Islam tidak seperti apa yang dipaparkan penulis tadi, seperti;

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. [رواه الترمذي ومسلم ]

"Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khottob radiallahuanhuma dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan".

Dari keterangan hadits diatas, terdapat pengurutan susunan Rukun Islam yang berbeda dengan urutan yang penulis paparkan sebelumnya, yakni meletakkan puasa setelah haji, atau mendahulukan haji sebelum puasa.

Akan tetapi, sesuai dengan tema pada judul yang penulis buat, disini penulis tidak akan membahas pada poin shalat dan selanjutnya, dalam Rukun Islam. Akan tetapi hanya akan mengangkat dan membatasi pemabahasan sampai pada Rukun Islam yang pertama saja, yakni Syahadat.

Kedua rukun, yang bisa disebut sebagai asas/dasar keberagamaan Islam ini bukan semata dibuat dan disusun dengan asal-asalan saja. Rasanya, dibalik urutan atau susunan-susunan tersebut menyimpan sebuah makna yang mungkin belum terungkap.

Pengklasifikasian pada asas-asas atau rukun-rukun tersebut seperti yang dikemukakan oleh Imam Zarkasyi (1989: 15) bahwa pokok-pokok kepercayaan itu disebut "Rukun Iman" dan pokok-pokok kewajiban itu disebut "Rukun Islam". Juga berangkat dari apa yang disebutkan oleh Lord Herbert (1583-1648) dan Roland Robertson (1988: 56) mengenai pencirian agama. Serta beberapa landasan teori lainnya seperti dikemukakan oleh 'Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (dalam Awaluddin, Sifat Dua Puluh, 1324 H) mengenai ilmu Rukun Islam yang pertama adalah mengetahui dan mengerti akan arti dan makna dua kalimat Syahadat. Yaitu yang dikatakan, Ilmu Ushuluddin, ilmu pokok agama Islam atau dinamakan juga ilmu Tauhid, yakni ilmu Ma'rifat.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2004) mengemukakan bahwa setiap Muslim wajib mentauhidkan Allah 'Azza Wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Seorang Muslim juga mesti mengetahui pengertian Tauhid, makna Syahadat, Rukun Syahadat dan syarat-syaratnya supaya ia benar-benar memahami Tauhid.

Atau seperti yang dikemukakan oleh Cak Nur (dalam Islam, Iman dan Ihsan sebagai Trilogi Ajaran Ilahi) bahwa setiap pemeluk Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam (Al-Islam) tidak absah tanpa Iman (Al-Iman), dan Iman tidak sempurna tanpa Ihsan (Al-Ihsan).

Kemudian dalam keterangan lain disebutkan bahwa karena ilmu 'aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan Al-Fiqh Al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para Sahabat Nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini.

Adapun landasan pemikiran atau teori lainnya yang merangsang keinginan penulis mengenai hubungan atau keterkaitan Rukun Iman terhadap Syahadat (Rukun Islam yang pertama) adalah seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim Lubis (dalam Agama Islam Suatu Pengantar, 1975: 162-217) bahwa ajaran Islam tersimpul kepada dua bagian besar, yakni Iman dan Islam – hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya serta makhluk lain. Iman – kepercayaan, Islam – hubungan manusia sesamanya serta makhluk lain. Maksud Arkanul (jama' dari Rukun) Iman ialah hal-hal yang wajib dipercayai oleh setiap pemeluk agama Islam. Kalau seseorang tidak percaya, ia belum Islam, dus kafir. Percaya, ialah mengiakan, mengakui, membenarkan sesuatu. Yakin, ialah membenarkan serta mempertahankan (melaksanakan). Dua puluh sifat Allah tersimpul ke dalam kalimat لاإ لـه إلاا لله (Laa Ilaaha Illa Allah). Ia pun menuturkan, dalam rukun-rukun Iman, setiap orang wajib mempercayai, jika tidak percaya pada salah satu rukun itu berarti belum Islam, dus kafir. Tetapi jika seseorang tidak melaksanakan salah satu Rukun Islam dengan sengaja, maka orang itu belum kafir, apabila ia telah percaya pada Rukun Iman dan mengucapkan dua kalimat Syahadat. Selanjutnya ia mengatakan, Syahadah artinya pengakuan dan penyaksian.

  1. Syahadah Tauhid; yakni pengakuan dan penyaksian akan ke-Esaan Allah.
  2. Syahadah Rasul; yakni pengakuan dan penyaksian Muhammad sebagai utusan Allah.

Dari sini penulis tertarik utamanya pada poin pembagian Syahadat yaitu Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Dimana, berangkat dari uraian penulis sebelumnya telah dipaparkan mengenai asas/dasar ajaran Islam yang tercakup kedalam Rukun Iman (sendi/tiang kepercayaan agama Islam). Yakni adalah bahwa didalam Syahadat Tauhid mengandung kepercayaan/keimanan kepada Allah (Rukun Iman yang pertama). Dan mengenai Syahadat Rasul, menyangkut kepada rukun ke empat pada Rukun Iman yang mengandung kepercayaan/keimanan pada Para Rasul (Nabi Muhammad).

Maka dari pemaparan pendahuluan sampai disini, dapat ditarik kesimpulan untuk mengetahui tentang maksud penulis dari judul dan tema yang menyebutkan tentang relevansi atau kaitan Rukun Iman dengan Syahadatain (dua kalimat Syahadat).

Adapun diantara beberapa referensi yang melatar-belakangi tema yang penulis buat mengenai upaya pendefinisian Bai'at (pembai'atan) sebagai Syahadat (persaksian), adalah beberapa fakta tentang berbagai macam fenomena mengenai Bai'at yang akan penulis tutur dan uraikan setelah ini.

Pada poin ini, penulis berusaha mengefektifkan pemaparan ini dengan kerangka pengklasifikasian fenomena-fenomena tersebut ke dalam beberapa bagian demi memudahkan penulis pribadi dalam memaparkan dan pembaca dalam memahami. Adapun fenomena baik dalam sejarah dan fakta yang penulis ambil sebagai referensi atau latar belakang ialah:

  1. Bai'at pada masa Rasulullah.
    1. Bai'at Aqabah pertama (tahun ke-11 Kenabian/ 620M), merupakan kontrak (perjanjian) sosial dan janji setia untuk berperilaku Islami. Di dalamnya juga terdapat rambu-rambu bagi masyarakat Islam.

      Al-Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit (salah seorang yang ikut berBai'at), bahwa Rasulullah bersabda: "Kemarilah dan berBai'atlah kalian kepadaku untuk:

  • Tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah
  • Tidak mencuri
  • Tidak berzina
  • Tidak membunuh anak-anak sendiri
  • Tidak akan berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian
  • Tidak mendurhakaiku dalam urusan yang baik

Barangsiapa diantara kalian menetapinya, maka pahalanya ada pada Allah. Dan barangsiapa mengambil sesuatu dari yang demikian ini, lalu dia disiksa di dunia, maka itu merupakan ampunan dosa baginya, dan barangsiapa mengambil sesuatu dari yang demikian itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya terserah Allah. Jika menghendaki Dia menyiksa dan jika menghendaki Dia akan mengampuninya." Lalu aku (Ubadah bin Ash-Shamit) pun berBai'at kepada beliau. (H.R. Bukhari)

  1. Bai'at Aqabah Kedua (tahun ke-13 kenabian/ Juni 622) merupakan kontrak politik antara umat Islam dan pemimpin. Dua Bai'at ini merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaan negara Islam yang pertama di negeri itu.

    Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jabir, ia berkata: "Kami berkata, 'wahai Rasulullah, untuk hal apa kami berBai'at kepada engkau?" dan isi Bai'at yang disampaikan Rasulullah:

  • Untuk mendengar dan taat tatkala bersemangat dan malas
  • Untuk menafkahkan harta tatkala sulit dan mudah
  • Untuk menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar
  • Untuk tegak berdiri karena Allah dan tidak merisaukan celaan orang yang suka mencela karena Allah
  • Hendaklah kalian menolongku jika aku datang kepada kalian, melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian, dan bagi kalian adalah surga.
  1. Bai'atur Ridhwan, yaitu kaum Muslimin sebanyak 1500 orang yang menyertai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam perjalanan ke Makkah untuk Umrah tahun 6 Hijriyah, mereka berBai'at kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah pohon Samurah. Para sahabat waktu itu berjanji kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka tidak akan lari dari medan pertempuran serta akan bertempur sampai titik darah yang penghabisan memerangi orang-orang musyrik Makkah, seandainya khabar yang disampaikan kepada mereka bahwa Utsman bin Affan yang diutus Rasulullah ke Makkah adalah benar telah mati dibunuh orang musyrik Makkah.
  2. Penduduk Makkah juga melaksanakan Bai'at kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kota itu ditaklukkan (Fathu Makkah, 630M, 8 H). Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan keselamatan kecuali Islam. Mereka pun menyatakan masuk Islam dan berkumpul untuk sumpah setia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di Shafa untuk membai'at mereka. Sementara Umar bin Al-Khatthab berada di bawah beliau, memegang tangan orang-orang yang berBai'at. Mereka menyatakan sumpah setia kepada beliau untuk taat dan tunduk menurut kesanggupan.
  3. Di dalam Al-Madarik diriwayatkan bahwa setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selesai membai'at kaum lakilaki, beliau juga membai'at kaum wanita. Saat itu beliau ada di Shafa dan Umar ada di bawah beliau. Beliau membai'at para wanita itu untuk tunduk kepada perintah beliau dan menyampaikan apapun yang berasal dari beliau. Lalu muncul Hindun bin Utbah, isteri Abu Sufyan. Dia datang dengan cara sembunyi-sembunyi, takut kalaukalau beliau (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) memergokinya. Karena apa yang dulu pernah diperbuatnya terhadap jasad Hamzah (dalam perang Uhud, 3 H, Hindun membelah dada Hamzah dan mengunyah-kunyah jantungnya, pen).

    Rasulullah SAW bersabda: "Aku membai'at kalian, untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah", lalu Umar bin Al-Khathab membai'at mereka untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah. Beliau bersabda lagi: "Mereka tidak mencuri", Hindun berkata: "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, bagaimana jika aku mengmbil sedikit dari hartanya?", Abu Sufyan menyahut, "Apa yang engkau ambil, maka itu halal bagimu"... beliau bersabda lagi: "Mereka tidak berzina", Hindun bertanya, "Adakah wanita merdeka yang berzina?", beliau bersabda, "Mereka tidak membunuh anak-anak mereka", Hindun berkata, "Kami mengasuh mereka sewaktu kecil lalu kalian membunuh mereka setelah besar"... beliau bersabda lagi, "Mereka tidak membuat kedustaan", Hindun berkata, "Demi Allah, kedustaan adalah perkara yang amat buruk, sementara engkau tidak menyuruh kami kecuali kepada petunjuk dan akhlak mulia.", beliau bersabda lagi, "Mereka tidak mendurhakaiku dalam perkara yang ma'ruf.", Hindun berkata, "Demi Allah, kami tidak duduk ditempat ini, sementara didalam relung hati kami ada niat untuk mendurhakai engkau". Setelah Hindun kembali ke rumahnya, dia merobohkan berhala dirumahnya, sambil berkata: "Dulu kami terpedaya olehmu".

  1. Bai'at pada masa Sahabat.
    1. Pembai'atan Abu Bakar Ash-Shiddiq

      bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa'ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa'ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah diBai'atnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membai'at Abu Bakar di sana. Maka Bai'at di Saqifah adalah Bai'at in'iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan Bai'at di Masjid pada hari kedua merupakan Bai'at taat.

    2. Pembai'atan 'Umar bin Al-Khathab

      Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membai'at Umar untuk memangku jabatan Khilafah.

    3. Pembai'atan 'Utsman bin 'Affan

      Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : "…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …". Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ', oleh Ibn Sa'ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.

      Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin 'Awf berkata : "…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?" Semuanya diam. Abdurrahman bin 'Awf berkata : " aku mengundurkan diri." Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin 'Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : ".. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : "aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur." Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan Bai'at kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.

    4. Pembai'atan 'Ali bin Abi Thalib

      Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membai'at 'Ali bin Abi Thalib. Maka dengan Bai'at kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.

  2. Bai'at dalam Tasawuf/Tarekat.
    1. Bai'at Suwariyah; yaitu Bai'at bagi seorang kandidat Salik yang hanya sekedar ia mengakui bahwa Syaikh yang membai'atnya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi dan Syaikh itupun mengakui bahwa oran tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meinggalkan keluarganya untuk menetap tinggal dalam Zawiyah Tarekat itu untuk terus menerus bersuluk atau berdzikir. Ia boleh tinggal dirumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan tugasnya. Ia sekedar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada malam-malam tertentu dan bertawasul kepada gurunya itu. Ia dan keliarganya bersilarutahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh kesulitan dalam hidup ini ia berkonsultasi dengan gurunya itu pula.
    2. Bai'at Maknawiyah; yaitu Bai'at bagi seorang kandidat Salik yang bersedia untuk di didik dan dilatih menjadi Sufi yang 'Arif Bi Illah. Kesediaan Salik untuk di didik menjadi Sufi itupun sudah barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru Tarekat itu. Salik yang masuk Tarekat melalui Bai'at yang demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas keduniaan. Ia berkhalwat dalam Zawiyyah Tarekat didalam pengelolaan Syaikhnya. Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun bahkan belasan tahun. Muhammad bin 'Abdullah yang kemudian menjadi Khotam Al-Anbiya Wa Al-Mursalin berkhalwat di Gua Hira selama 20 tahun. Ia berhenti berkhalwat sesudah ia mencapai tingkat Ma'rifat dan Hakikat yaitu dengan wahyu turunnya lima ayat surat Al-'Alaq yang berturut-turut yang disampaikan oleh Jibril. Pertemuannya dengan Malaikat Jibril adalah Ma'rifat sedangkan wahyu yang diterimanya merupakan Hakikat.
  3. Bai'at dalam Organisasi-organisasi Islam.
    1. LDII; 1) Dalam hal Bai'at, mengkafirkan yang tidak Bai'at. 2) Dalam hal mengkafirkan Muslim yang tidak masuk LDII. dll...
    2. Hasan Al-Bana – Ihya'ut Turats.

      Meski tak ada lafadz Bai'at dalam organisasi mereka, tetapi mereka membuat satu nama yang disebut dengan ketaatan. Maksudnya, wajib ta'at kepada pemimpin. Abdurrahman Abdu Khalid dan Muhammad Mahmud Najdi menulis konsep-konsep ketaatan bagi anggota Ihya'ut Turats. Dan ditetapkan dosa bagi yang tidak menaati pemimpin.

  4. Pandangan-pandangan tentang Bai'at.
    1. Bahwa Bai'at yang pertama, adalah Bai'at untuk beriman kepada Allah saja, berpegang teguh dengan amalan-amalan yang utama dan menjauhi amalan-amalan yang munkar.
    2. Bai'at adalah bid'ah:
      1. Syekh Shalih Al-Fauzan: "Bai'at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin. Adapun Bai'at-Bai'at yang ada ini adalah bid'ah itu akibat dari adanya ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang mereka berada di satu negara atau satu kerajaan hendaknya Bai'at mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan…".
      2. Kaum muslimin terutama generasi awal umat ini dan setelahnya dari para Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in tidak mengetahuinya dan tidak mengenalnya, mereka hanya kenal satu Bai'at yaitu untuk pimpinan kaum muslimin. Syaikh Abu Zaid (dalam Hukmul Intima': 162) bahwa "Bai'at ini (Bai'at Sufi atau Bai'at kelompok-kelompok) adalah Bai'at bid'ah dan baru."
      3. Islam telah melarang berbilangnya Bai'at, yakni tatkala di sebuah negeri telah diBai'at seorang pimpinan maka dilarang membai'at yang lain apa lagi yang lain itu hanya seorang yang mengaku imam dan tidak punya kekuasaan, bahkan ia dikuasai oleh pimpinan di negeri tersebut.

        Jika diBai'at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (Shahih, HR Muslim dari Abu Said)

      4. Tidak memiliki dalil dari al Quran maupun as Sunnah ataupun Ijma'. Kalaupun mereka mendasari dengan hadits maka tentu itu berdalil bukan pada tempatnya karena hadits-hadits Bai'at itu berkaitan dengan waliyyul arm- muslimin (penguasa) sebagaimana keterangan diatas bukan pada pimpinan jama'ah dan sejenisnya. "Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan atas perintah/agama kami maka itu tertolak." (Shahih, HR Muslim dari 'Aisyah).
      5. Pengingkaran para ulama terhadapnya –dan itu memperkuat bahwa Bai'at mereka tidak bersandar pada dalil- diantara ulama yang mengingkari mereka adalah Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan: Dan tidaklah boleh bagi seorangpun dari mereka untuk mengambil janji setia dari seorang yang lain untuk sepakat dengannya dalam segala apa yang ia inginkan dan untuk berloyal pada orang yang berloyal padanya, serta untuk memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan orang yang melakukan demikian itu berarti ia sejenis dengan Jenghiz Khan dan semacamnya yang menjadikan orang yang sepakat dengan mereka sebagi teman yang loyal dan yang menyelisihi mereka sebagai musuh yang jahat. [Majmu' Fatawa:28/16].
      6. diriwayatkan bahwa seorang Tabi'in bernama Mutharrif bin Abdillah bin Syikhir mengingkari Zaid bin Shouhan dalam hal tulisan perjanjian yang ia siapkan untuk orang lain. Mutharrif mengatakan:"…Saya mendatanginya (Zaid bin Shouhan) di suatu hari dan mereka (yang bersama zaid) sudah menuliskan sebuah tulisan serta sudah mereka rapikan redaksinya sebagaimana berikut ini: Sesungguhnya Allah Rabb Kami Muhammad Nabi kami, al Qur'an Imam kami dan barangsiapa bersama kami maka kami mendukungnya dan barangsiapa yang menyelisihi kami, maka tangan kami akan melawannya dan kami… dan kami…. Lantas ia sodorkan tulisan itu kepada seorang demi seorang dan mereka mengatakan: "Apakah engkau sudah mengikrarkannya wahai fulan?", sehingga sampai pada giliran saya maka mereka pun mengatakan: "Apakah kamu sudah mengikrarkannya wahai anak?" Akupun menjawab: "Tidak!." Zaid bin Shouhan mengatakan (kepada petugasnya, pent): "Jangan kalian terburu-buru pada anak ini, apa yang kamu katakan wahai anak?" Saya katakan: "Bahwa Allah telah mengambil janji atas diriku dalam kitab-Nya, maka saya tidak akan mengambil janji lagi selain janji yang Allah telah ambil atas diriku." Maka kaum itupun akhirnya tidak seorangpun dari mereka mengikrarkannya. (Riwayat Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya:2/204 dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif) dan jumlah mereka saat itu kurang lebih 30 orang.
      7. Pendahulu mereka yang melakukan Bai'at ini adalah aliran sufi dimana merekalah yang dikenal mengunakan cara ini untuk mengikat murid-muridnya.
      8. Bai'at bid'ah ini menyebabkan sekian banyak pelanggaran syari'at, diantaranya:
  • Berwala' dan bara' bukan karena Islam tapi karena kelompok
  • Menyebabkan terpecahbelahnya umat
  • Menyebabkan permusuhan antar sesama muslim bahkan antar kerabat, lebih dari itu tak jarang sampai saling mengkafirkan
  • Berbuat bid'ah dan menyalahi hadits-hadits yang shahih
  • Merendahkan muslimin yang lain dan tidak memberikan hak sesama muslim bahkan bersikap keras terhadap mereka
  • Menimbulkan kesombongan pada diri mereka seolah merekalah yang paling benar
  • Membuat fitnah diumat ini semakin panjang
  • Fanatik/ta'ashub kepada Imamnya
  • Membuka jalan bagi orang yang berkepentingan pribadi atau kelompok untuk menggunakan Bai'at ini sebagai sarana memenuhi kebutuhannya
  • Mengungkung pengikutnya dalam ruang yang sempit
  • Hilangnya atau berkurangnya kewibawaan pemerintah
  • Tidak ditaati atau dipatuhi penguasa yang sebenarnya
  • Taklid buta pada amir jama'ah-jama'ah sempalan
  1. Dalam bukunya (Hasan Al-Bana) "Dzikriyat la Muzdakarat" At-Tilmisani berkata, "Seorang saudagar kaya yang masih minum arak minta Bai'at kepada Hasan Al-Banna dan ia diBai'at serta dimasukkan ke dalam keanggotaan Ikhwanul Muslimin."

    Dua macam Bai'at:

    1. Bai'at Shufiyah; yang mengharuskan taat seratus persen kepada guru dan pemimpin. Umar At-Tilmisani berkata dalam bukunya "Dzikriyat La Mudzakkarat" berkata, "Seorang di hadapan Hasan Al-Banna harus seperti mayat di depan orang yang memandikannya." Ini termasuk syiar Sufiyah yang berbunyi, "Mendengar dengan pendengaran al Banna, melihat dengan penglihatan Al Banna." Yang berarti mengharuskan ta'at, tidak boleh melanggar.
    2. Bai'at Militer. Bai'at ini mengharuskan seseorang taat pada pimpinan dalam jihad , peperangan dan yang berkaitan dengannya. Ikrarnya berbunyi, "Mendengar, taat, tidak merasa berat, ragu dan bimbang."

      nampak jelas ketika pada tahun 1940 M Hasan Al Banna membentuk tandzim (Organisasi sayap) khusus bagi Ikhwanul Muslimin. Anggotanya di Bai'at (sumpah setia) kepada pimpinan (Hasan Al Banna) dengan mushaf Al Qur'an. Bila pemimpin memberikan instruksi untuk membuat keributan atau melakukan pembunuhan, maka harus dilaksanakan. disebutkan oleh Mahmud As Shabagh dalam bukunya ''Tandzim khash.' (kelompok khusus). Mahmud menyebut beberapa contoh gerakan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin seperti kerusuhan, pembunuhan, demonstrasi, pembunuhan polisi/tentara pemerintah dan rakyat jelata,. Serta cerita-cerita lainnya dari liku-liku mereka yang panjang.

  2. Al Qurthubi (Wafat.671 H) dalam tafsirnya (1:272 cet. Darus Sya'b) mengatakan: Dan jika kepemimpinan telah terwujud…maka wajib bagi rakyat seluruhnya untuk membai'atnya untuk patuh dan ta'at untuk menegakkan kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka barangsiapa yang tidak berBai'at karena udzur dia diberi udzur/maaf dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berBai'at), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.
  3. Dr. Bakr bin Abdullah abu Zaid, ia berpendapat: Sesungguhnya Bai'at dalam Islam itu satu, yaitu dari Dzawis Syaukah (Ahlu Al-Halli Wa Al-'Aqdi/semacam DPR-MPR) untuk Waliyyul Amri Al-Muslimin dan sultan mereka (Khalifah dan sultan Muslimin). Dan adapun apa yang selain itu berupa Bai'at-bai'at Tarekat (Tasawuf), Hizbiyah (partai-partai, golongan-golongan) didalam sebagian jama'ah Islam masa kini itu semua adalah Bai'at-bai'at yang tidak ada asalnya (Laa ashla laha) dalam syara'. Tidak dari Kitabullah dan tidak dari sunnah Rasul, dan tidak dari amal/perbuatan sahabat dan tabi'in. Maka dia itu adalah bai'at mubtada'ah (diada-adakan secara baru) padahal setiap bid'ah (pengadaan baru) itu adalah sesat. Dan setiap Bai'at yang tidak ada asalnyua dalam syara' itu maka bukanlah ketetapan janji, maka tidak ada dosa dalam meninggalkannya dan mengkhianatinya. Bahkan berdosa dalam mengadakannya (Hukmul Intimaa' Ilal Firaq Wa Al-Jamaa'at Al-Islamiyah).
  4. Dr. Mani' bin Hamad Al-Johani dalam bukunya, al-Mausu'ah Al-Muyassarah Fil Adyan Wa Al-Madzahib Wa Al-ahzab Al-Mu'ashirah, menyimpulkan adanya dua jenias Bai'at, yaitu:
  • Bai'at Kubro; (yakni Bai'at terhadap Khalifah untuk mengangkatnya dan untuk tunduk padanya selama tidak dalam hal bermaksiat kepada Allah, pen) telah ada perintah padanya, dan ada hadits-hadits khusus yang mentahdzir (memperingatkan) terhadap orang yang melanggarnya.
  • Bai'at Sughro; (salign berjanji setia bukan terhadap (salign berjanji setia bukan terhadap Khalifah, dalam hal tertentu seperti untuk tetap berjihad membela agama Allah, amar ma'ruf nahi munkar, dll, pen), maka menepati janji Bai'at Sughro ini masuk dalam wilayah nash-nash (teks ayat atau hadits) umum yang menganjurkan atas mutlaknya menepati janji.

Dari uraian-uraian diatas, yaitu mengenai pembai'atan sejak masa Rasulullah, Sahabat, dan pembai'atan-pembai'atan yang terdapat pada aliran Islam seperti Tarekat/Tasawuf dan organisasi-organisasi Islam seperti yang telah disebutkan diatas, serta uraian beberapa pandangan terhadap Bai'at, didapati poin-poin sebagai berikut:

  1. Fenomena terjadinya pengaplikasian Bai'at sejak masa Rasulullah
  2. Fenomena pembai'atan para sahabat sebagai Khalifah pada masa Khulafa Ar-Rasyidin
  3. Fenomena pembai'atan dalam Tasawuf/Tarekat
  4. Fenomena pengaplikasian pembai'atan pada beberapa organisai-organisasi dalam Islam.
  5. Kontroversial mengenai dan terhadap Bai'at-bai'at yang ada

Dari sini, jika kita kembalikan ingatan kita pada persoalan asas/dasar agama dalam Islam yang telah penulis uraikan sebelumnya, mengenai Rukun Islam, yakni Syahadat (Rukun Islam yang pertama). Yang berarti, untuk menjadi Islam (menjadi orang yang beragama Islam), hal yang harus dilakukan pertama adalah bersyahadat (mengucapkan, mengi'tikadkan dua kalimat Syahadat).

Syahadat, berati persaksian, Syahadat berarti pengetahuan (mengetahui), Syahadat berarti pengakuan, Syahadat berarti pernyataan, yakni penyaksian, pengetahuan, pengakuan serta pernyataan terhadap ketuhanan Allah SWT dan kenabian Muhammad SAW. Dari sini, jika kita tilik firman Allah dalam Al-Qur'an yang berbunyi:

$ygƒr'¯»tƒ
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=äz÷Š$#
Îû
ÉOù=Åb¡9$#
Zp©ù!$Ÿ2
Ÿwur
(#qãèÎ6®Ks?
ÅVºuqäÜäz
ÇsÜø¤±9$#
4
¼çm¯RÎ)
öNà6s9
Arßtã
×ûüÎ7B

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."

Kata "Kaffah", yang memiliki arti "Keseluruhannya" dalam ayat Qur'an diatas, yakni berarti memeluk agama Islam secara lahir dan bathin, tidak setengah-setengah yang dalam beberapa keterangan disebut sebagai konsekuensi kalimat Syahadat (لاإ لـه إلا الله محـمـد ا رسـول اله) yakni, menyatakan diri bahwa mengakui dan menyaksikan serta membenarkan ketuhanan Allah SWT, dengan konsekuensi untuk mentaati perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mengakui serta menyaksikan dan membenarkan kerasulan Muhammad SAW dengan konsekuensinya yaitu membenarkan dan menjalankan ajaran Allah yang disampaikan melaluinya dalam bentuk Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits).

Dari uraian tersebut, tentunya dapat disimpulkan bahwa, ketika seseorang menjadikan dirinya sebagai orang Islam yaitu dengan bersyahadat. Berarti sama dengan ia telah membuat pengakuan atau janji (perjanjian) antara dirinya, Allah dan Muhammad. Dalam arti, ia telah berjanji untuk mematuhi segala yang diperintahkan oleh Allah melalui Rasulnya yaitu Muhammad.

Namun tidak sampai disitu. Beberapa keterangan baik berupa fenomena maupun tulisan, yang penulis dapatkan selama penelitian ini dilaksanakan, didapati data-data sebagai berikut:

  1. Hasan Basri mengungkapkan, syarat menjadi Muallaf adalah:
  • Harus mengucapkan dua kalimat Syahadat, didepan seorang ulama
  • Harus mandi Janabad (mandi beraih untuk meninggalkan najis)
  • Jika dia laki-laki harus disunat/khitan
  • Belajar tentang Islam seperti Shalat, membaca Al-Qur'an dan lain sebagainya
  • Tidak boleh Murtad
  1. Pengubahan nama seorang Muallaf.
  2. Dalam keterangan lain dikatakan bahwa cara masuk Islam adalah dengan:
  • Bersyahadat
  • Bersuci dengan mandi besar.
  1. Eddy Corret, dalam ceritanya mengenai menuturkan kisah Prabu Wijaya dengan Sunan Kalijaga (dalam serat Darmogandul, 2008) memberikan kesimpulan bahwa pengislaman dengan dua syarat:
  • Syahadat
  • Memotong rambut (cukur)

Dari keterangan-keterangan diatas, didapati bahwa pada kenyataannya, umat Muslim menyikapi orang-orang yang hendak memeluk agama Islam tidak hanya sekedar mengucapkan dua kalimat Syahadat saja. Melainkan ada yang mengharuskan mandi, sunat/khitan, cukur, dan atau bahkan mengubah namanya.

Akan tetapi, apa nama "Prosesi Pengislaman" yang memiliki berbagai macam cara itu? Adakah sebutannya? Atau cukupkah dikatakan dengan "Pengislaman" saja?. Dan dengan asumsi dalam bentuk kalimat tanya bahwa, jika kita perhatikan kembali uraian penulis mengenai Bai'at pada pembahasan terdahulu serta menilik kembali pengertian Bersyahadat beserta konsekuensinya, maka lahirlah pertanyaan mengenai, "Apakah bisa 'Prosesi Pengislaman' itu disebut dengan atau sebagai Bai'at (pembai'atan)? Tentunya sampai disini, hal itu masih merupakan hal yang absurd (bukan-bukan).

Selain itu, dalam kasus lain juga didapati keterangan yang berhubungan dengan "Pengislaman" seperti yang penulis maksud tadi yaitu, persoalan mengenai status keabsahan identitas sebagai Muslim (nya) orang-orang yang lahir atau yang memang berasal dari keturunan Islam (Muslim). Yakni dalam penelitian yang penulis lakukan, hampir seluruhnya pada objek penelitian tidak bisa memberi keterangan mengenai hal seluk-beluk/asal-mula keislaman mereka secara syar'i. Dimana hal seperti tersebut, dapat dengan mudah menyebabkan atau melahirkan adanya asumsi bahwa, mereka yang terlahir atau memang berasal dari keturunan Muslim tidak sah keislamannya, karena tidak melakoni (melakukan) "ritual" (seperti yang harus dilakukan para Muallaf) untuk masuk agama Islam.

Oleh karena hal ini, disini terungkap sisi lain dari ketertarikan penulis untuk merintis pembahasan tentang, sebagaimana judul yang penulis buat. Dan sampai disinilah pendahuluan yang mungkin cukup untuk mengantarkan pembaca pada maksud dari judul yang penulis buat yaitu, RUKUN IMAN DAN SYAHADATAIN (Relevansi antara Rukun Iman dan Syahadatain [Rukun Islam yang Pertama], dengan Upaya Pendefinisian Bai'at [Pembai'atan] sebagai Syahadat).


 

  1. Perumusan Masalah

Jika memperhatikan uraian yang penulis buat terdahulu yakni pada pendahuluan, cukup panjang lebar sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kesulitan untuk memahami poin-poin yang penulis maksudkan. Atau dikhawatirkan adanya pembahasan yang tak perlu pada pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini sehingga dapat mengganggu fokus daripadanya. Untuk itu pada bagian ini penulis coba merumuskan permasalahan-permasalahan yang dimaksudkan didalamnya. Antara lain sebagai berikut:

  1. Hubungan seperti apakah yang terdapat antara Rukun Iman dengan Syahadatain (Rukun Islam yang Pertama)?
  2. Bagaimana sebenarnya orang Islam (Muslim) menyikapi/menindaklanjuti para Muallaf atau orang-orang yang hendak masuk/memeluk agama Islam?
  3. Mengapa orang-orang yang lahir atau berasal dari keturunan beragama Islam tidak melakukan (ritual) seperti yang dilakukan (diwajibkan) bagi para Muallaf?


     

  4. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah yang penulis urai sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah itu sendiri, yakni:

  1. Untuk mengetahui hubungan seperti apakah yang terdapat antara Rukun Iman dengan Syahadatain (Rukun Islam yang pertama).
  2. Untuk mengetahui bagaimana orang Islam (Muslim) menyikapi/menindaklanjuti para Muallaf atau orang-orang yang hendak masuk/memeluk agama Islam.
  3. Untuk mengetahui mengapa orang-orang yang lahir atau berasal dari keturunan beragama Islam tidak melakukan (ritual) seperti yang dilakukan (diwajibkan) bagi para Muallaf.


     

  4. Landasan Teori

Sebagaimana dijelaskan terdahulu pada pendahuluan mengenai urutan pada susunan-susunan Rukun Iman dan Rukun Islam, maka dalam hal ini penulis menyandarkan pemikiran pada beberapa dalil baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang menguatkan tentang pada urutan-urutan tersebut. seperti tentang Rukun Iman diantaranya:

Didalam Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 177 disebutkan:

}§øŠ©9
§ŽÉ9ø9$#
br&
(#q9uqè?
öNä3ydqã_ãr
Ÿ@t6Ï%
É-ÎŽô³yJø9$#
É>̍øóyJø9$#ur
£`Ås9ur
§ŽÉ9ø9$#
ô`tB
z`tB#uä
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
̍ÅzFy$#
Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur
É=»tGÅ3ø9$#ur
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur
tA#uäur
tA$yJø9$#
4n?tã
¾ÏmÎm6ãm
ÍrsŒ
4n1öà)ø9$#
4ytGuŠø9$#ur
tûüÅ|¡yJø9$#ur
tûøó$#ur
È@‹Î6¡¡9$#
tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
Îûur
ÅU$s%Ìh9$#
uQ$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
tA#uäur
no4qŸ2¨9$#
šcqèùqßJø9$#ur
öNÏdÏôgyèÎ/
#sŒÎ)
(#rßytã
(
tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur
Îû
Ïä!$yù't7ø9$#
Ïä!#§ŽœØ9$#ur
tûüÏnur
Ĩù't7ø9$#
3
y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
(
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)­GßJø9$#

177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab ra. Dia berkata: "ketika kami berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya... orang itu berkata: 'Beritahukan kepadaku tentang Iman', Rasulullah menjawab: 'Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada Utusan-utusan-Nya, kepada Hari Kiamat dan kepada Takdir yang baik maupun yang buruk'" (H.R. Muslim no. 8, dalam Hadits Arba'in An-Nawawi dengan syarah Ibnu Daqiqil 'Ied, 2005. Hadits ke-2.).

عـن ابـن عـباس أ ن مـعا ذا قـال إنـك تأ تي قـوما من أهـل الكـتـاب، فـلـيكـن أول ما تـدعـوهـم إلـيه شهادة أ ن لا إله إلا الله - وفي رواية : إلى أ ن يـوحد وا الله -، فإ ن هـم أطاعـوك لذ لك فـأعـلمهم أن الله افـتـرض عـلـيـهم خـمـس صلـوات في كل يوم ولـيلة، فإ ن هـم أطاعـوك لذلك فأعـلمهم أن الله افـتـرض عـلـيهم صد قة تـؤخذ من أغـنـيائهم فـترد على فـقـرائهـم، فإ ن هـم أطاعـوك لـذ لك فـإ يا ك وكـرائـم أمـوالهـم، واتـق دعـو ة المظلوم فـإ نه لـيـس بـيـنها وبـيـن الله حجا ب

"Sungguh kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang harus kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat La Ilaha Illallah – dalam riwayat yang lain disebutkan "supaya mereka mentauhidkan Allah"-, jika mereka mematuhi apa yang kamu dakwahkan, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mematuhi apa yang telah kamu sampaikan, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan pada orang-orang yang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya  dan Allah" (H.R. Bukhari dan Muslim [Shahih Muslim no. 23]).

Adapun mengenai Rukun Islam diantaranya adalah:

$ygƒr'¯»tƒ
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=äz÷Š$#
Îû
ÉOù=Åb¡9$#
Zp©ù!$Ÿ2
Ÿwur
(#qãèÎ6®Ks?
ÅVºuqäÜäz
ÇsÜø¤±9$#
4
¼çm¯RÎ)
öNà6s9
Arßtã
×ûüÎ7B

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."

عـن ابـن عـمر عـن الـنـبـي صلى الله عـلـيه وسلم قـال : بـني الإسـلا م عـلى خـمـسة عـلى أ ن يـوحـد الله وإ قـا م الـصـلا ة وإ يـتاء الـزكا ة وصـيـا م رمـضـا ن والـحج

"Ibnu Umar ra. Berkata: Nabi SAW bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara, mengesakan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan haji" (Shahih Muslim no. 19).

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullahu shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada illah selain Alloh dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah,menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka ada pada Alloh ta'ala.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ [رواه البخاري ومسلم ]

"Dari Ibnu 'Umar 'Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallaah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara harta dan jiwanya dari aku kecuali karena alasan yang hak dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah ta'ala'" (H.R. Bukhari dan Muslim).

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. [رواه الترمذي ومسلم ]

"Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khottob radiallahuanhuma dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan" (H.R. Bukahri [no. 8] dan Muslim [no. 16]).

Disamping itu, beberapa landasan teori lainnya yang menjadi sandaran penulis ialah seperti yang disampaikan oleh Drs. H. Ibrahim Lubis, SmHK. (1975) bahwa kebanyakan manusia itu bergama adalah disebabkan ibu bapaknya beragama itu, maka orangnya pun beragama ibu bapaknya. Atau yang diungkapkan oleh Wilfred C. Smith (dalam The Meaning and End of Religion, edisi Indonesia, Memburu Makna Agama, 2004: 314-315) bahwa cara yang laik untuk memahami suatu pernyataan religius ialah dengan melihat apa arti kata dan klausa itu bagi mereka yang menggunakannya untuk membantu mengungkapkan iman mereka. Ia juga mengatakan bahwa tak seorangpun dapat mempunyai iman seandainya tidak karena antara lain pengajaran dan pendidikan dari dan oleh warisan orang-orang lain.

Al-Ghazali (dalam Ihya 'Ulumuddin, edisi bahasa Indonesia, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama Islam, 1990:334) menuturkan pula bahwa mereka yakin bahwa ucapan "Tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad adalah Utusan Allah" sebagai ibadah mereka itu tidaklah mempunyai keutamaan dan hasil jika tidak nyata pengetahuan mengenai pusat dandasar-dasar yang berkenaan dengan kesaksian ini. Dan mereka mengetahui bahwa dua kalimat Syahadat yang ringkas itu mengandung penetapan Dzat Tuhan, penetapan Sifat-sifat-Nya, penetapan Perbuatan-perbuatan-Nya, dan penetapan Kebenaran Rasullah.

Adapun beberapa keterangan yang menguatkan pendapat-pendapat seperti tersebut diatas antara lain:

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sesuatu. Yang mengherankan kami bahwa seorang badui yang beradab mengajukan pertanyaan kepada beliau dan kami mendengarkan. Suatu hari datang seorang badui, lalu berkata: Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami, ia mengatakan bahwa engkau menyatakan bahwa Allah telah mengutusmu. Rasulullah saw. menjawab: Benar. Orang itu bertanya: Kalau begitu, siapakah yang menciptakan langit? Rasulullah saw. menjawab: Allah. Orang itu bertanya: Siapakah yang menciptakan bumi? Rasulullah saw. menjawab: Allah. Orang itu bertanya: Siapakah yang menegakkan gunung-gunung ini dan menjadikan sebagaimana adanya? Rasulullah saw. menjawab: Allah. Orang itu berkata: Demi Zat yang telah menciptakan langit, menciptakan bumi dan menegakkan gunung bahwa Allah-lah yang mengutusmu? Rasulullah saw. menjawab: Ya. Orang itu berkata: Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib mengerjakan salat lima waktu dalam sehari semalam. Rasulullah saw. menjawab: Benar. Orang itu berkata: Demi Zat yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu? Rasulullah saw. menjawab: Benar. Orang itu berkata: Utusanmu mengatakan, bahwa kami wajib mengeluarkan zakat harta kami. Rasulullah saw. menjawab: Benar. Orang itu bertanya: Demi Zat yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu? Rasulullah saw. menjawab: Ya. Orang itu berkata: Utusanmu juga mengatakan bahwa kami diwajibkan puasa pada bulan Ramadan. Rasulullah saw. menjawab: Benar. Orang itu bertanya: Demi Zat yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu? Rasulullah saw. menjawab: Ya. Orang itu berkata: Utusanmu mengatakan pula bahwa kami wajib menunaikan ibadah haji ke Baitullah, jika mampu. Rasulullah saw. menjawab: Benar. Kemudian orang itu pergi, seraya berkata: Demi Zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak akan menambahkan atau mengurangi semua apa yang telah engkau terangkan. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya jika benar apa yang diucapkan, ia akan masuk surga.

Dan seperti yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (2004) mengenai Tauhid bahwa: "Hendaknya hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa Tidak ada Illah yang berhak di ibadahi kecuali Allah saja, maka jika mereka mantaatimu dalam hal itu..." [H.R. Bukhari (1395), Muslim (19), Abu Daud (1584), At-Tirmidzi (625), semuanya dari hadits ibnu 'Abbas ra]. Kalau begitu, Rasulullah SAW telah memerintahkan para sahabatnya untuk memulai dengan apa yang dimulai oleh beliau sendiri yaitu dakwah kepada Tauhid.

Dan juga yang diungkapkan oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas (2004) bahwa setiap Muslim wajib mentauhidkan Allah 'Azza Wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Seorang Muslim juga mesti mengetahui pengertian Tauhid, makna Syahadat, rukun Syahadat dan syarat-syaratnya supaya ia benar-benar memahami Tauhid. Dan penuturan yang disampaikan Drs. H. Ibrahim Lubis, SmHK (dalam Agama Islam Suatu Pengantar, 1975: 216-217) bahwa Syahadah ialah persaksian: Syahadah Tauhid, yakni pengakuan dan penyaksian akan ke-Esaan Allah; dan Syahadah Rasul, yakni pengakuan dan penyaksian Muhammad sebagai Utusan Allah.

Dimana semua pemikiran-pemikiran tersebut merupakan landasan-landasan penulis untuk meneliti tentang keterkaitan antara Rukun Iman terhadap dua kalimat Syahadat (Syahadatain) yang terdapat dalam Rukun Islam yang pertama. Yakni pada segi keilmuan, pengetahuan, pemahaman serta keyakinan yang penulis asumsikan terkandung dalam dua kalimat Syahadat.

Adapun hal mengenai Bai'at, yang didalamnya bersangkutan sekaligus dengan 2 (dua) poin dalam rumusan masalah terdahulu. Hasan Usman (1986: 16) bahwa metodologi penelitian sejarah adalah suatu periodisasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah.

Definisi atau pengertian seperti disebut diataslah, alasan mengapa pada bagian pendahuluan penulis menyajikan beberapa keterangan yang bersifat historis mengenai Bai'at. Yakni untuk mendapatkan hakikat makna dari kata Bai'at itu sendiri.

Adapun beberapa landasan teori lain yang penulis gunakan adalah seperti penuturan Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi (dalam Pengenalan Tauhid Uluhiyyah Allah, 2006) bahwa tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (2004: 16-26) menuturkan bahwa mayoritas kaum Muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illa Allah tidak memahami maknanya dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali.

Dari kesemua dasar pemikiran atau landasan teori yang penulis uraikan diatas, terhubungkan dengan judul yang penulis buat yaitu mengenai keterkaitan antara Rukun Iman dengan Syahadat, dimana Rukun Iman merupakan hal-hal yang terkandung dalam dua kalimat Syahadat, serta pembahasan Bai'at dengan sistem pendekatan historis/sejarah demi mendapatkan definisi dan makna hakiki dari Bai'at itu sendiri (secara berdiri sendiri). Dan menyangkut kedua hal itu, fenomena mengenai keberagamaan didalam agama Islam yang diantaranya membahas tentang Muallaf dan latar-belakang keagamaan Muslim (keturunan), yakni disangkutkan dari sisi pengaplikasian terhadap dan tentang pengetahuan dan keilmuan pada kalimat Syahadat.


 

  1. Metode Penelitian

Asumsi yang dijadikan pijakan pada penelitian ini adalah keterkaitan Rukun Iman dalam, dan sebagai makna Syahadatain, dimana realitas keberagamaan Muslim kurang dalam memperhatikannya. Kemudian "Prosesi pengucapan dua kalimat Syahadat serta hal-hal lainnya yang harus dipenuhi dalam rangka mengislamkan seseorang (orang yang hendak memeluk agama Islam/Muallaf)" terlihat kurang jelas metode pengaplikasiannya dan tak ada istilah yang digunakan sebagai sebutan untuk mewakili prosesi tersebut. berikutnya, asumsi yang juga dijadikan pijakan pada penelitian ini ialah diperlukannya penetralan (pembersihan) istilah "Bai'at" dari berbagai pengertian-pengertiannya yang didefinisikan dengan cara pengidentikkan kata Bai'at tersebut kepada sesuatu tanpa peng-artian secara tunggal atau berdiri sendiri, seperti yang terjadi dalam aliran-aliran dan organisasi-organisasi dalam Islam, akibatnya saling memberi jarak atau bahkan saling memusuhi dan saling mengalahkan dalam aspek keagamaannya (dis-toleransi). Asumsi terakhir yang menjadi pijakan dalam penelitian ini ialah penyerapan kata "Bai'at" kedalam arti atau pengertian daripada pengucapan dua kalimat Syahadat (pengislaman).

Ke empat asumsi diatas saling terkait (kronologis) dan merupakan hubungan kausal yang dapat digambarkan sebagai berikut:


 

A 

B 

C 

D 

Rukun Iman sebagai Makna Syahadat 

Pengucapan dua kalimat Syahadat, mandi, sunat, dll sebagai prosesi pengislaman yang tanpa nama/istilah 

Identifikasi historis dan kontroversi tentang makna Bai'at

(upaya) penetralan arti kata "Bai'at dan (uapaya) Penyerapan kata "Bai'at" kedalam pengertian "Prosesi Pengislaman" (Pengucapan dua kalimat Syahadat, mandi, sunat, dll)


 

Dengan demikian, hal-hal yang perlu diketahui untuk menjawab persoalan-persoalan penelitian antara lain:

  1. Makna Syahadat (memunculkan kaitan Rukun Iman dengan Syahadat)
  2. Makna pengucapan dua kalimat Syahadat (mengungkap cara yang benar pengucapannya)
  3. Realitas (pensyaratan keabsahan) proses/cara pengislaman (selain Syahadat; yaitu mandi, sunat, dll)
  4. No label (menstimula istilah Bai'at diserapkan pada prosesi pengislaman –poin 3)


 

  1. Jenis Penelitian

Taxonomical, menemukan pengetahuan tentang suatu fenomena

Teoretis (Theritical), memperkenalkan suatu teori yang tergolong baru dengan contoh aplikasi dengan menyajikan suatu teori baru atau mengembangkan teori yang telah ada.

Kualitatif, data yang digunakan adalah data string atau record atas suatu kondisi tertentu (seperti kondisi sosial, kondisi seseorang/individu) yang lebih berkaitan dengan kualitas atau sifat dan perilakunya.

Tindakan (Action), penelitian dilakukan dalam konteks mengkaji suatu tindakan tertentu dengan tujuan untuk mengembangkan suatu metode kerja yang efisien.

Deskriptif, menggambarkan segala yang perlu diketahui tentang Rukun Iman, Rukun Islam, Bai'at beserta fenomena-fenomenanya.

Pendekatan Historis, Hasan Usman (1986: 16), metodologi penelitian sejarah adalah suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah.

Pendekatan Fenomenologis, memahami dari segi sejarah, dalam arti menurut dimensi keagamaannya (Eliade dan Kitagawa, 1959: 66); memahami pemikiran-pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi: hakikat, teori, tingkah laku; Van der Leeuw, 7 fase penelitian fenomenologis: memberi nama geja, menyisipkan kedalam kehidupan itu sendiri, memperdalam pengertian-pengertian agamis tentang hakikat di dalam epoche (penangguhan sementara dari semua penelitian terhadap masalah kebenaran), memberikan pengertian agamis yang telah diperdalam, mengoreksi dengan menyelidiki kebenarannya, pengertian, atau tujuan bahan fenomenologis yang umum atau yang lazim, memperkenalkan pengertian agamis yang telah diperdalam beserta maksudnya (Depag, 1985: 5). Mengklasifikasi data yang sangat banyak dan beragam dengan cara tertentu sehingga memperoleh gambaran menyeluruh tentang isi keagamaan yang terkandung didalamnya. Gambaran menyeluruh ini bukanlah merupakan ringkasan sejarah agama, tetapi survey yang sistematis tentang data-data agama (W.B. kristensen, 1986: 2). Dalam keadaan terpaksa, fenomenologi dapat dengan penuh kewaspadaan membedakan religiusitas murni dan yang tidak murni.

  1. Menerangkan apa yang sudah diketauhi yang terdapat dalam sejarah agama, dengan caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan macam-macam agama.
  2. Menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan faktor penamaan dari semua agama.
  3. Tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah ia bernilai, dan bagaimana bisa terjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau lebih kecilnya nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai kegamaannya, nilai tersebut yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu sendiri dan nilai semacam ini tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolut. Oleh karena itu, titik berat yang dibicarakannya ialah bagaimana kelihatannya dan dengan cara apa (bagaimana) ia menampakkan diri kepada kita (Depag, 1985: 9); bandingkan W.B. Kristensen, 1986: 2.

Fenomenologi agama tidak mengemukakan nilai (makna) dan kebenaran (kenyataan). Fenomenologi agama menempatkan di antara dua kurung, menunda dan menangguhkan penetapan sesuatu (epoche). W.B. Kristensen mendefinisikan fenomenologi agama sebagai ilmu yang menggunakan pandangan yang membandingkan data-data keagamaan, supaya mendapat dukungan baru untuk interpretasi mereka (Beck, 1992: 57).

Pendekatan Psikologis, meruapakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dan aspek-aspek batini pengalaman keagamaan. Suatu esensi pengalaman keagamaan itu benar-benar ada dan bahwa dengan suatu esensi, pengalaman tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, usaha untuk menemukan esensi dan menentukannya sebagai suatu pemahaman seringkali sia-sia (Isma'il R. Al-Faruqi, 1985: 1). Objek ilmu ini adalah manusia, dalam pengertian tingkah laku manusia yang beragama, gejala-gejala empiris dan keagamaannya.

  1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup
  2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri
  3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama (Zakiah Daradjat, 1979: 20)


 

  1. Sumber Data
    1. Sumber data primer: data primer merupakan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan yang diperoleh dari pihak-pihak terkait yaitu beberapa anggota dan tokoh agama bersangkutan.
    2. Sumber data sekunder: merupakan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan yang diperoleh dari buku-buku, artikel, internet dan yang lainnya sebagai literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, dan bersesuaian dengan kejadian (fenomena) yang ada.


       

  2. Teknik Pengumpulan Data
    1. Wawancara

      Dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan secara langsung dari responden dan informan dengan kuesioner (daftar pertanyaan) yang telah dipersiapkan sebelumnya.

    2. Study Kepustakaan/Book Survey

      Mempelajari da meneliti buku-buku serta tulisan-tulisan ilmiah, yang ada sangkut-pautnya dengan masalah yang sedang dibahas, untuk memperoleh kekuatan ilmiah dan sebagai bekal dasar atau penunjang dalam penelitian ini.


 

  1. Teknik Analisis Data

Kualitatif.