2/16/2011

BEBAS BERFIKIR by el_saydie

BERFIKIR BEBAS BERSAMA AHMAD WAHIB: SIAPA TAKUT?!


 


 

"AGAMA", seharusnya berperan sebagai "Agama"

Atau sebagai "A-Gama", atau sebagai "Good Rules"

Atau sebagai "Guide To Happiness"

Atau sebagai "Musallim"


 


 

Berfikir secara bebas tidak perlu berlatih atau belajar, berfikir bebas tidak perlu ditekankan atau dipaksa. Yang namanya berfikir, tidak bisa dibatasi atau dihalangi. Berfikir secara bebas, lepas, tak terbatas, merupakan sifat dasar pemikiran manusia, bagi saya. Dan pengertian tersebut tidak saya batasi untuk pemikiran dalam konteks "akal sehat" saja, tapi berlaku juga untuk pemikiran dalam konteks "akal yang tidak sehat". Maka pada dasarnya semua manusia "yang berakal sehat" maupun "yang tidak berakal sehat" (orang gila), berfikir dengan bebas.

Bagi saya, berfikir bebas bukan sebuah fenomena yang "menggemparkan", tapi justru anugerah. Karena hal itu, selain seperti yang sudah saya katakan sebelumnya yaitu merupakan fitrah bagi manusia. Juga dengan berfikir secara bebas, lepas dan tak terbataslah banyak "sesuatu yang baru" atau lebih cenderung saya sebut sebagai "perkembangan" muncul.

 

  • BERFIKIR TAK BEBAS?

Istilah berfikir tak bebas bagi saya tidak ada! Karena yang namanya pemikiran bukan sesuatu yang berwujud, yang bisa kita sembunyikan atau kita lemparkan atau kita larang untuk sesuatu hal seakan "berfikir" adalah makhluk. Bagi saya, berfikir hanyalah sebuah aktivitas yang pelakunya adalah manusia itu. Dan meski begitu, bukan berarti pemilik pemikiran tersebut bisa begitu saja kita perintahkan untuk membatasi pemikirannya, atau untuk tidak berfikir secara bebas. Hal itu tidak akan pernah bisa terjadi, karena pemikiran seseorang takkan bisa dikendalikan oleh seseorang yang lain, melainkan setiap individu pemikirlah yang mampu mengendalikan pemikirannya. Dirinya sendirilah yang bisa mengendalikan pemikirannya.

Namun itupun bukan berarti seseorang itu bisa membatasi pemikirannya. Kecuali jika hanya sekedar mengendalikan, dan itu pun harus dengan usaha yang sangat keras. Hal itu terjadi karena, sekali lagi, pemikiran bukan sesuatu, dan berfikir merupakan fitrah bagi manusia, tetapi pemikiran adalah pemikiran. Selama seorang manusia itu masih bernyawa, maka pemikirannya akan tetap hidup karena seorang manusia takkan bisa terlepas dari pemikiran, minimal dari satu pemikiran. Pasti ada yang ia fikirkan.


 

  • KLASIFIKASI "BERFIKIR BEBAS" ESAI INI.

Penjelasan-penjelasan saya diatas dimaksudkan pada pengertian yang beranekaragam dan menyeluruh yang tidak terbatas pada sebuah konteks pemikiran atau segi pemikiran apapun. Penjelasan diatas dimaksudkan pada pemikiran universal kehidupan manusia, baik itu pemikiran terhadap atau tentang diri sendiri, masyarakat, agama, negara dan segala aspek kehidupan lainnya.

Dan pada bagian ini saya akan bahas tema yang saya ambil ini dengan cara mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kategori.


 

  • Berfikir Bebas; Siapa Takut?!

Judul pada poin ini: "Berfikir Bebas; Siapa Takut?!", bagi siapa pun pasti menyebabkan lahirnya sebuah kesan bahwa ada "ketakutan" bagi sebagian orang untuk berfikir. Kenapa saya tidak katakan "berfikir bebas"? karena seperti yang sudah saya jelaskan, pada dasarnya semua manusia berfikir secara bebas.

Sejujurnya, yang memang juga merupakan alasan saya memilih tema ketiga pada esai ini. Saya heran kenapa, dan ternyata ada ungkapan seperti ini. Dan jika memang seandainya ungkapan ini harus dan perlu diungkap, apakah tidak lebih baik jika ungkapan ini disampaikan dengan pengklasifikasian atau arah ketakutan yang hendak dimaksud tersebut.

"Apa dan siapa yang ditakutkan?", itu maksud saya dan itulah pula ungkapan dan pemikiran pertama yang lahir dalam diri saya setelah membaca ungkapan tadi. Karena tentu saja, dalam segala segi manusia selalu berfikir bebas. Atau bebas berfikir. Atau tepatnya "BERFIKIR". Karena itulah yang menjadi pembeda antara "manusia yang hidup" dengan "manusia yang mati" atau antara "orang hidup" dan "orang mati".


 

  • Berfikir Bebas Konteks Pribadi/Individu.

Bisa dikatakan, saya menentang pendapat yang mengatakan "berfikir tidak boleh bebas". Terutama dalam konteks pada judul poin ini. Alasan saya yang pertama adalah karena pemikiran bukan sesuatu yang bisa dikendalikan begitu saja, atau tidak mudah dikendalikan. Faktor yang mempengaruhi pemikiran terutama pada konteks ini menurut saya adalah usia, pergaulan dan lingkungan. Yang berarti pemikiran semenjak masa kecil, usia muda dan usia lanjut akan dengan sendirinya berbeda. Dan selain dipengaruhi oleh faktor usia, juga terpengaruhi oleh faktor lingkungan dan pergaulan. Dengan lingkungan seperti apakah ia bergaul dan seperti apakah pergaulannya. Dan itu semua sangat besar pengaruhnya terhadap pemikiran yang bisa membuat pemikiran tersebut menjadi semakin bebas dan luas, atau bahkan bisa saja sebaliknya.

Alasan kedua saya adalah, perkembangan dan pengembangan pemikiran seseorang. Jika seandainya ada "pembatasan pemikiran", maka bagi saya itu berarti diskriminasi atau saya anggap dan sebut sebagai "PEMBODOHAN".

Menurut saya, modal hidup untuk bisa menjalani kehidupan minimal secara normal atau biasa saja, satu-satunya cara untuk bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan di dunia, dan terutama untuk bisa memahami dan mengerti agar mampu membedakan antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah, adalah berfikir. Maka jika seandainya ada pembatasan pemikiran terutama jika dilakukan sejak masa kanak-kanak, maka orang tersebut akan terus kekanak-kanakan. Yang menyebabkan tidak terjadinya pengembangan diri, minimal pengembangan pemikiran. Maka bagi saya, berfikir itu penting, terutama berfikir bebas, dan terutama dalam konteks pengembangan diri.


 

  • Berfikir Bebas Konteks Masyarakat/Sosial.

Seperti yang saya katakan, bahwa berfikir merupakan pembeda antara "orang hidup" dan "orang mati" apalah lagi terutama di lingkungan masyarakat. Sebuah desa atau kota, baik disadari maupun tidak disadari, menuntut aspirasi dan keterampilan masyarakatnya tentu saja demi perkembangan daerah tersebut. Maka itu akan terdapat perbedaan antara masyarakat yang aktif dengan masyarakat yang pasif.

Sebuah daerah yang masyarakatnya aktif yang tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan daerahnya, dan tentu akan melahirkan sebuah nilai plus baik dihadapan masyarakat daerah itu sendiri maupun dihadapan masyarakat daerah lainnya.

Darimana nilai plus itu bisa lahir? Darimana keterampilan itu bisa terwujud? Bagaimana perkembangan itu bisa terjadi?

Didalam sebuah daerah dengan masyarakatnya yang aktif, kurang lebih yang terjadi adalah sebagian atau mungkin seluruh masyarakat akan "berfikir" (dengan caranya) dan dengan inisiatifnya baik secara invidu atau kelompok yang kemudian dilanjutkan dengan musyawarah bersama tokoh-tokoh masyarakat di daerah tersebut tentang bagaimana menciptakan perkembangan di daerahnya sendiri. Sebagian atau seluruh anggota masyarakat yang aktif akan "berfikir" atau memikirkan bagaimana caranya dan apa yang harus dilakukan jika seandainya ada sesuatu didaerahnya yang terlihat atau terkesan kurang baik.

Dan semua sikap memikirkan tersebut tentu saja bersifat dan menyebabkan atau menghasilkan pengembangan dan perkembangan, disamping yang secara otomatis "memperbaiki kekurangan". Maka bagi saya, berfikir itu penting, terutama berfikir bebas, dan terutama dalam konteks perkembangan masyarakat.

 

  • Berfikir Bebas Konteks Negara.

Pada poin ini, cenderung sangat banyak kendala dan rintangan. Terutama kendala untuk menyalurkan hasil-hasil berfikir yang lahir dari seorang "masyarakat biasa" tentang atau yang berhubungan dengan (kepentingan) negara. Pada poin ini, cenderung saya hendak tujukan pada pejabat-pejabat atau tokoh-tokoh negara, sebagai bagian masyarakat negara yang memiliki jalan menuju sistem tertinggi negara sehingga bisa menyalurkan sebuah ide yang lahir dari sebuah pemikiran tersebut.

Seperti halnya hasil pemikiran dalam konteks masyarakat aktif yang saya jelaskan sebelumnya, hal itu pun bisa memberikan perkembangan pada negara hanya jika seandainya negara pun bersikap seperti daerah yang saya misalkan tadi. Pada poin ini, saya rasa tidak perlu banyak berargumen karena isi dan tujuan pada poin ini tidak terlalu berbeda dengan poin sebelumnya.


 

  • Berfikir Bebas Konteks Agama.

Mungkin, yang dimaksud pada tema ketiga esai ini adalah konteks pada judul poin ini. Yaitu terhadap atau tentang Agama. Memang, banyak dari sejarah agama-agama yang memberi kesan "pembatasan pemikiran" atau "membatasi pemikiran". Pada poin ini, saya membaginya kedalam beberapa poin:


 

  • Masalah Kemurnian Agama

Pemikiran-pemikiran atau ide-ide yang melahirkan berbagai macam pendapat, pengertian, kritikan dan sikap-sikap baru terhadap Agamalah yang menyebabkan turunnya perintah dan fatwa dari para pemuka Agama untuk membatasi dan melarang pemikiran yang bebas dari umatnya yang mereka istilahkan dan sebut sebagai pemeliharaan kemurnian Agama.

Kekritisan berfikir para mahasiswa, terutama, atau pendapat-pendapat yang lahir dari pemikiran-pemikiran kritis oleh beberapa tokoh pemikir dunia (terutama tokoh-tokoh pemikir dari Barat) yang menjadi faktor terbesar turunnya perintah dari para pemuka Agama untuk melarang umatnya berfikir bebas atau kritis.

Bukan lagi sebuah Agama yang murni menurut Agama itu sendiri, tidak lagi pantas dikatakan sebuah Agama yang murni, jika ajarannya dicampurkan atau ditambahkan dengan pemikiran-pemikiran yang lahir dari para pengikutnya.

Takut kehilangan pengikut, takut hancurnya doktrin. Itulah menurut saya, yang menjadi alasan terlarangnya berfikir bebas bagi para pengikut sebuah Agama tentang Agama. Terutama terhadap pemikiran-pemikiran yang melahirkan hasil pemikiran yang dianggap bertentangan atau dianggap menyeleweng dengan doktrin sebuah Agama, yang tentu saja melahirkan ketakutan dalam diri para tokoh Agama tersebut tentang selain menghancurkan doktrin dari Agama tersebut tersebut juga bisa menyebabkan jatuhnya sebuah Agama hingga terhapus atau dihapuskan. Itulah ketakutan sebenarnya.


 

  • Masalah Kekuasaan dan Ortodoksi.

Aliran-aliran atau sekte-sekte baru yang lahir dari setiap Agama besar, yang tentunya lahir dari sebuah pemikiran juga. Mereka (para pemuka Agama-agama besar itu) menentang keras berkembangnya aliran-aliran baru tersebut. Dalih menjaga ortodoksi, dalih pula menjaga kemurnian identitas. Walau dalam hal ini memang ada sebagian yang saya sepakati.

Namun tidak menutup kritisan saya tentangnya, bukan hanya menjaga ortodoksi, akan tetapi mempertahankan kekuasaan di sebuah negara. Sama seperti poin sebelumnya, takut kehilangan kekuasaan dan ketokohannya.

Sedikit keterangan saya dapat dan simpulkan dari fenomena aliran-aliran dalam Islam misalnya, pertentangan terhebat dan terhangat adalah dari segi penafsiran Al-Qur'an; misal Ahmadiyah. Tafsir Qur'an yang mereka pakai yang jika tidak keliru disebut "Tadzkirah", karya Mirza Ghulam Ahmad. ditolak keras MUI (Majelis Ulama Indonsia) karena dianggap menyesatkan. Dan masalah kedua dari aliran ini adalah karena mereka mengidentitaskan diri sebagai Muslim. Kedua hal ini ditentang oleh pihak ortodoksi yang berkuasa di Indonesia sehingga muncul SKB (Surat Keputusan Bersama) yang berperan sebagai ancaman bagi kaum Ahmadiyah jika mereka mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Indonesia.

Atau contoh lain pada Agama Kristen, sebuah aliran yang dianggap sesat. Mereka menyebut diri dengan sebutan "Christian Science", mereka memiliki kitab tafsir tersendiri atau bisa dikatakan lebih dari sekedar tafsir, karena dalam buku itu di fokuskan ilmu pengetahuan dan kesehatan. Sesuai judul buku tersebut, "Ilmu Pengetahuan dan Kesehatan Dengan Kunci Untuk Kitab Suci" karya Mary Baker Eddy, atau judul berbahasa Inggrisnya, "Science And Health With Key To The Scripture". Buku ini mereka baca selalu setiap hari Minggu, hari dimana mereka beribadah, setelah membaca Al-Kitab.

Fenomena Agama-agama, terlihat sama saja, bagi saya, terutama kaum-kaum yang menganut ortodoksi yang berkuasa di sebuah kota atau negara. Mereka berdalih mempertahankan kesucian ajaran mereka, walau tidak menutup kemungkinan mereka pun mempertahankan diri agar tetap menduduki kekuasaan yang mereka miliki saat ini. Contoh pertentangan lainnya seperti aliran Muhammadiyah dan Persis dalam Agama Islam atau dalam Kristen yang berpecah Katolik, Protestan, dan lainnya.


 

  • "Agama" Sebagai Institusi Komunitas Kaum Tertinggal (Old Fashion).

Perkembangan dunia, mulai dari ilmu pengetahuan hingga teknologi. Bagi sebagian orang dipandang merupakan sebuah perkembangan dan kemajuan dunia yang tentu saja memberikan banyak keuntungan dan kemudahan dalam segala hal bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dengan baik sehingga manusia bisa menjalankan aktivitasnya dengan dinikmati, bukan dengan terpaksa atau penuh dengan ketidak-ikhlasan.

Kemajuan, tentu saja harapan semua orang. Dari susah beranjak senang, sempit berpindah lega, rumit menjadi mudah, jauh kian dekat. Perkembangan bukan hal yang bisa begitu saja terjadi, perkembangan di dunia, syari'atnya, tentu saja berdasarkan dan berasal dari pemikiran-pemikiran bebas sebagian manusia yang memakai pemikirannya hingga melahirkan ide-ide ataupun teori-teori baru yang kemudian terwujud dalam berbagai bentuk yang akhirnya menjadi faktor-faktor lahirnya perkembangan-perkembangan itu.

Bentuk-bentuk dan hal-hal baru yang memberikan bermacam kebaikan bagi manusia itu sendiri. Pemikiran-pemikiran bebas yang bukan hal mudah bisa dilakukan dan ternyata menjadi faktor lahirnya perkembangan-perkembangan dan kemajuan-kemajuan baru dari zaman ke zaman tersebut.

Maka apa yang terjadi, jika pemikiran bebas, TERLARANG? Tentu dunia akan terus berada dizaman yang disebut dengan "zaman primitif" (jika dibandingkan dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi sejak dulu hingga saat ini).

SEDANGKAN, ada sebagian manusia yang menganggap semua hal-hal baru tersebut dengan pandangan yang sebaliknya. Memandangnya sebagai kehancuran, sesuatu yang menyesatkan, Haram, dan terlarang untuk ikut serta melestarikan hal-hal baru yang saya sebut sebagai perkembangan itu. Dan hal ini didasarkan dan diatasnamakan, Agama.

Karena hal-hal baru itu LAHIR DARI mereka yang berbeda keyakinan, berbeda Agama, lahir dari mereka yang dianggap musuh Agama, dan dalih bahwa hal-hal baru tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk pertentangan terhadap Agama dan bertujuan untuk menghancurkan Agama, atau mengkafirkan.

Inilah yang terjadi, di dunia saat ini. Inilah nyatanya, peran sebagian Agama saat ini. Inilah ternyata, sikap-sikap sebagian para kaum beragama. Inilah Agama, yang ternyata mengaitkan rantai bagi kaumnya, yang menyebabkan terhalangnya mereka dari menggapai kebahagiaan dan kasih sayang yang dianugerahkan oleh Tuhannya.


 

  • "Agama" Sebagai Racun Sosial.

Saat ini, subur rasanya benih keagamaan berbuah siksa, menuai hasil memakai pedang, berebut jatah dengan perang. Semuanya mengatasnamakan Agama. Atau kesejahteraan dan ketentraman serta kebersamaan yang sebelumnya merdu berjalan, namun akhirnya retak dan menegangkan, menciptakan hujan duka yang mengenaskan, mengundang perpecahan, dan semuanya mengatasnamakan Agama. Bahkan ikatan sebuah keluarga, suami-istri, hancur berantakan dan itu semua ternyata gara-gara Agama.

Di suatu tempat, seorang petani yang sangat rajin bertani, tekun menggarap sawah-sawahnya, adil membagi hasil panennya, hingga suatu saat ia mulai aktif dalam sebuah faham Agama, dan tentu yang menjadi masalahnya adalah ketekunannya dalam dunia tani berkurang drastis. Malas di pagi hari karena terlalu banyak ibadah malam, hingga disamping hal ini memberikan kesan buruk dari masyarakat, ternyata istrinya sendiri, seorang istri yang sebelumnya benar-benar mencintai suaminya, hormat, santun dan sayang terhadap suaminya, seorang istri yang shalehah. Melihat suaminya yang sebelumnya tekun bekerja dan berusaha, kini berubah sebaliknya malas dan sebagainya. Menjadikan sang istri berani mencaci-maki suaminya, tak sadar terlucuti keshalehahannya, karena seorang suami yang berubah drastis tersebut. Dan tak hanya itu, di era saat ini dan sebelumnya kerap tersingkirnya kedamaian, kekerasan bertahta. "Perang Suci" berdalih, mereka yang tak bersalah bahkan anak-anak hingga bayi menjadi korban. Dan semuanya mengatasnamakan "Agama".

Kedamaian terracuni, kesejahteraan terracuni, kebahagiaan terracuni, keharmonisan terracuni, sosialisme terracuni, bahkan keshalehan dan ketaatan serta santun keramah-tamahan terracuni. Agama menjadi laskar kekerasan, Agama menjadi topi baja merangkap jendral peperangan, ya... Agama menjadi racun bagi sosialisme, manusia dan dunia, virus yang membumi, merajalela.

 

  • "Agama", Sebagai Kendala Bagi Negara.

Menyambung teks pada poin-poin sebelumnya, mengaitkan konteks dengan pengertian pada judul poin ini, sebuah negara dengan ragam Agama yang dianut oleh para penduduk-penduduknya, sedangkan diantara mereka kerap mengadu kebenaran yang tak berujung dan berbuah "TAURAN" atau perang. TENTU menjadi beban dan kendala bagi sang pemimpin negara untuk bisa menciptakan negara yang bersatu, harmonis dan rakyatnya yang peduli bangsa. Maka jangan heran, wahai penduduk bangsa Indonesia, jika negara anda tidak berkembang. Itu saja.


 

  • "Agama", Sebagai Rahmatan Lil 'Aalamiin.

"Agama" seharusnya bukan malah menjadi "Trouble Maker". Atau terbuang "A"nya hingga hanya menjadi "Gama". Atau menjadi "Fitnah". Atau menjadi "Bad Rules". Atau menjadi "Road To Destroy" atau "Walke To Ruination". Atau menjadi "Pencelaka". Atau menjadi "Violences Factory".

"Agama", seharusnya berperan sebagai "A-Gama". Atau sebagai "Good Rules". Atau sebagai "Huda". Atau sebagai "Guide To Happiness". Dan atau sebagai "Musallim". Lalu bagaimana seharusnya Agama? Dan bagaimana seharusnya beragama?

Pada poin ini, saya akan membaginya kembali dalam dua poin ;

  • BAGAIMANA SEHARUSNYA AGAMA ?

Jika tidak salah, "AGAMA" berasal dari bahasa Sansekerta
"A" dan "GAMA". "A" yang berarti "TIDAK" dan "GAMA" yang berarti "KACAU-BALAU". Jadi... "AGAMA" bisa dianggap atau dikatakan sebagai SEPERANGKAT/LEMBAR ATURAN yang berfungsi mengatur manusia-manusia yang KACAU, tak terarah, tak berpedoman, dan lain-lain dan akhirnya muncullah Agama untuk menyampaikan pedoman kepada manusia termasuk diantaranya melalui Kitab Suci-Kitab Suci dalam setiap Agama.

Jadi, seharusnya Agama dan Kitab Sucinya benar-benar menjadi pedoman bagi manusia agar tidak terjadinya kekacauan-kecauan seperti apapun juga sesuai dengan arti dari nama ("AGAMA") tersebut.

UNTUK MANUSIA!!! Bukan untuk suatu kaum!!!

Agama ada, Aturan ada, Dien ada. Itu semua Tuhan turunkan UNTUK MANUSIA, bukan untuk suatu kaum atau sebagian manusia saja. Akan tetapi untuk seluruh manusia. PERSELISIHAN, merupakan salah satu bentuk kekacauan. PEPERANGAN, juga salah satu bentuk kekacau-balauan.

Lalu dimana Agama? Mana perannya? Atau apakah sudah tak ada?

Maka berarti yang terjadi adalah AJARAN AGAMA hilang, yang dipakai hanya almamaternya saja. Orang beragama hanya formalitas saja, tanpa memahami agama yang ia anut sendiri. Hanya main-main dalam beragama. Sehingga tetap terjadi banyak kekacauan, banyak ketidak-teraturan. Dan ini berarti, misi Agama, gagal.

Lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus diperbuat?

Sebenarnya, Agama tidak bersalah. Dan Agama tidak gagal melaksanakan misinya. Adapaun semua kekacauan yang masih tetap subur ini bukan karena Agama melainkan para penganutnya yang salah menggunakan Agama. Hal ini akan saya jelaskan pada poin kedua berikut.


 

  • BAGAIMANA SEHARUSNYA BERAGAMA ?

Yang terjadi adalah;

  • Tiba-tiba Beragama
  • TIDAK memahami bahkan sekedar mengenali PROFIL Agamanya Sendiri
  • Tak Pernah Terjadi Pertimbangan
  • Tak Pernah Tercipta/Ada Alasan Memegang Keyakinan
  • Renungan, Tak Pernah Terjadi
  • Ritual Menganut Atau Memasuki Sebuah Agama (Secara Sadar / Ingatan) Tak Pernah Terjadi
  • Jangankan "MENGENAL" Agama Lain, Tentang Agama Sendiri pun, bingung
  • Perang.

MEMANG... Agama Seseorang itu Tergantung Agama Orang Tuanya. Tapi apakah itu berarti seseorang tidak perlu mempelajari Agamanya? Cukup menjalankan dan terus memegang teguh kepenganutannya tanpa melakukan hal yang justru bagi saya adalah WAJIB dilakukan yaitu memikirkan untuk apa saya beragama? Kenapa saya menganut Agama ini? Apa, Siapa, dan Seperti apakah Agama yang saya anut ini?

Jadi... orang seperti itu, menganut sebuah Agama, bukan dan tanpa MEMILIH. Selanjutnya di doktrin, dan banyak dilakukan hal lainnya, dan berujung BUTA tertutupi Jubah Agamanya dari mengenal Penganut Agama yang lain, lalu bersikap ANGKUH dengan cara memandang sembari berpaling dan menyipitkan sebelah mata dalam melihat dan memandang Agama yang lain. Hingga yang TERPARAH adalah menggembar-gemborkan gelar SESAT, SALAH, dan lainnya terhadap Agama yang lain. PADAHAL DIA TIDAK TAHU DAN TIDAK MENGENAL SAMA SEKALI TENTANG AGAMA-AGAMA YANG LAIN YANG DIA VONIS TERSEBUT.

Itulah yang terjadi, ORANG MENGANUT SEBUAH AGAMA DENGAN CARA ASAL-ASALAN, IKUT-IKUTAN, ASAL NIMBRUNG!!! Maka yang terjadi apa? Orang TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH menjalankan ajaran-ajaran Agama, asal beragama saja, Agama KTP, dan lainnya. Inilah yang menyebabkan gagalnya misi Agama.

Dan kembali ke judul poin ini, Bagaimana Seharusnya Beragama, kurang lebih rumusan saya dalam menindak-lanjuti keinginan untuk bergama adalah dengan cara-cara seperti berikut:

  • Kenali Agama Yang Hendak Dianut
  • Pelajari dan Fahami Sedalam Mungkin Tentang Agama Tersebut
  • Fahami Pula Tentang Agama Yang Lain (Minimal Kenali)
  • Pertimbangkan Matang-matang Semua Agama Tersebut
  • Tentukan dan Renungkan Pilihan Yang Sudah Diambil
  • Lakukan Ritual Untuk Masuk Pada Salah Satu Agama (sesuai ajarannya)
  • Jalankan Ajarannya Dengan BENAR
  • Sampaikan, Amalkan, dan Ajarkan Pada Manusia-Manusia Yang Lain TANPA KEANGKUHAN, FANATISME NEGATIF dan lainnya.
  • Berbahagialah.

Bukan berarti kita harus terlebih dahulu melepas keyakinan dan kepenganutan kita pada Agama yang sudah dianut saat ini, karena MEMPELAJARI Agama-agama yang lain bukan berarti menganutnya.

mempelajari, mencari tahu, bukan hal yang HARAM!!! Justru WAJIB!!! Karena itu semua akan menghasilkan ilmu atau pengetahuan dalam diri kita. Hal ini wajib, Apalagi bagi orang "Beragama Islam", Allah menurunkan Ilmu dan Pengetahuan bukan untuk dihina, dicemoohkan, atau divonis sesatkan. Akan tetapi Allah Berfirman bahwa menuntut Ilmu atau pengetahuan itu WAJIB bagi setiap Muslim Laki-laki dan Muslim Perempuan.

ADAKAH SESUATU DI DUNIA INI YANG BUKAN DARI ALLAH??? ADAKAH SESUATU YANG DARI ALLAH TAPI BUKAN YANG TERBAIK???

Saya berani mengatakan KAFIR kepada mereka yang mengatakan bahwa ADA SESUATU YANG BUKAN DARI ALLAH atau PILIHAN ALLAH BUKAN MERUPAKAN HAL YANG TERBAIK.

Tapi tidak akan saya jelaskan kenapa, karna jika saya harus menjelaskan tentang hal ini, lebih kurang akan bertema "Agama dan Keberagamaan" secara rinci, saya rasa tidak akan cukup dan akan melebihi batas maksimal esai ini. Sedangkan saya tidak ingin setengah-setengah dalam menjelaskan sesuatu, terutama tentang hal yang SANGAT PENTING itu, terutama bagi saya dan umumnya untuk mereka yang menganut Agama yang sama dengan saya. Dan hal tadi cukup hanya sebagai pengingat bagi setiap Muslim yang membacanya. Insya Allah.

Dan akhirnya, jika kita beragama dengan cara yang benar, tidak sewenang-wenang, tidak asal nimbrung atau sikap salah lainnya tentu tidak akan pernah terjadi kekacauan terutama kekacauan yang mengatasnamakan Agama.

BEGITULAH SEHARUSNYA BERAGAMA...

ATAU SAMA SEKALI JANGAN BERAGAMA !!!


 

  • UNGKAPAN-UNGKAPAN HATI AHMAD WAHIB

"Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang. Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali ? Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri."

Tuhan itu tergantung prasangka hambaNya. Dan yang namanya prasangka, ada di hati. Mungkin di lubuk hati, yang letaknya sangat dalam, tentunya. Dan untuk bisa melihat hati seseorang, minimal harus dibelek dadanya. Tapi sekalipun hal itu dilakukan, tetap yang namanya "isi hati", takkan bisa terlihat oleh manusia, karena hanya Dia yang

ÍrߐÁ9$#
V#xÎ/
7Î=tæ, dan kita manusia hanya bisa menilai, itupun mengira-ngira.

Saya belum pernah menjadi "orang gila", sebagaimana orang yang dianggap gila pada umumnya, ya, seseorang dianggap gila seakan-akan ia tidak punya akal karena salah satu alasannya adalah berpenampilan kurang wajar atau tidak bermasyarakat atau aneh dan sebagainya. Saya belum pernah seperti itu, Alhamdulillah. Dan menurut saya, orang seperti itulah (Orang Gila) yang bisa dianggap "tidak tahu akan fikirannya sendiri", atau mungkin ia tahu, akan tetapi dianggap fikirannya kurang beres (karena mungkin dianggap "nyeleneh" dari dan oleh orang-orang yang merasa waras). Dan sekali lagi, yang seperti ini disebut "Orang Gila".

Kemudian melanjutkan ungkapan hati Ahmad Wahib ini. Untuk sesorang yang "pura-pura tidak tahu" akan fikirannya sendiri, itu saya sebut golongkan dalam kelompok orang "MUNAFIK". Dan jika seandainya yang dimaksud oleh Ahmad Wahib adalah "Orang Beragama Islam", saya akan lebih menentang kepura-puraan ini, karena didalam Al-Qur'an dinyatakan;

¨bÎ)
tûüÉ)Ïÿ»oYçRùQ$#
Îû
Ï8ö¤$!$#
È@xÿóF{$#
z`ÏB
Í‘$¨Z9$#
...

Dalam pernyataan Ahmad Wahib yang satu ini memang bisa diprediksikan akan melahirkan pertentangan, terutama dari kaum Agama Islam. Karena diantaranya seperti meragukan hukum-hukum Tuhan, atau seakan mengkritik Tuhan, atau mungkin bahkan seakan Ahmad Wahib sedang berbincang dengan Tuhan, atau berdialog dengan Tuhan. Mungkin itu diantara penyebab adanya kecaman dari pihak kaum beragama Islam.

Akan tetapi jika memang benar begitu, kapankah akan terjadi keyakinan yang mutlak selama kita tidak belajar? Kapankah akan terjadi keyakinan yang tak perlu diragukan lagi tentang meyakini keberadaan dan kekuasaan serta hukum-Nya jika kita tidak belajar dan berusaha?

Karena Ahmad Wahib, menurut saya, tidak lain dan tidak beda adalah salah satu dari mereka yang sedang mengusahakan semua itu. Ia ingin sebuah kepastian yang pasti, sangat pasti, bukan kemungkinan. Ahmad Wahib, sebagai seorang beragama Islam, tentu sulit untuk menyelesaikan semua itu, terutama mengenai Tuhan, mengingat konsep ketuhanan dalam Islam. Dan sedangkan kemungkinan jalan satu-satunya untuk bisa melakukannya, untuk bisa benar-benar bertemu dengan Tuhan, adalah kematian. Sedangkan bunuh diri, dalam Islam, adalah terlarang. Maka ia tidak melakukannya.

Mungkin jika Ahmad Wahib saat ini hidup kembali, bersama oleh-oleh atau kenang-kenangannya dari alam kubur atau dari alam kematian, ia akan meralat kata-katanya itu. Mungkin ia akan berkata aku sudah yakin tentang semuanya, tentang hukum-Mu, karena aku sudah bertemu dan bertanya langsung kepada-Mu.

Itu saja. Ahmad Wahib tidak lain seperti mereka yang sama-sama sedang berusaha meningkatkan keimanan sebagai seorang beragama Islam. Dan kalau begitu, mengapa kita sesama umat yang berkeyakinan sama dengannya menentang hal ini?

Walloohu A'laam.

"Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia."

Jika sejak dahulu hingga kini orang beragama DENGAN BENAR, atau dengan cara yang benar, atau hanya ada satu Agama saja, dan tentu beragama dengan sungguh-sungguh, dan berarti hanya akan ada sebutan "Orang Beragama" dan "Orang Tidak Beragama" saja, dan bukan "Berbeda-beda Agama". Tentu Ahmad Wahib tidak akan berbicara seperti itu.

Agama pada awalnya merupakan salah satu "PEMBEDA" antara hewan dan manusia, "AKAL" pada awalnya adalah "PEMBEDA" antara HEWAN dan MANUSIA. Tapi apa yang terjadi?

Apa kata Wahib?

"…Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia."

Pertama, Memahami manusia sebagai manusia. Jadi sudah hilang kedudukan Agama sebagai pembeda antara hewan dan manusia, karena yang terjadi manusia beragama pun belum menjadi manusia, entah apa itu namanya yang pasti bukan manusia, kata Ahmad Wahib.

Kedua, menghubung-hubungkan dari kelompok mana. Karena dengan menghubungkan seseorang berasal atau berada dalam salah satu kelompok, apalagi dari kelompok AGAMA tertentu, sekarang ini SANGAT MEMBAHAYAKAN!!! Karena ketika kita bertemu dengan seseorang yang berbeda kelompok atau Agama, lalu kita mengatakan bahwa kita dari salah satu kelompok atau Agama yang berbeda dengannya, apalagi seandainya kita kebetulan berada dalam kelompok yang sedang hangat-hangatnya di tentang, apa yang terjadi? Pasti yang bertemu dengan kita menolak apapun pendapat kita, tapi yang parah dan BAHAYA kalau-kalau orang tersebut sampai berbuat kekerasan terhadap kita. Mungkin itu salah satu alasannya Wahib mengatakan hal tadi.

Zaman sekarang ini, yang terjadi di era ini, adalah manusia yang menganut salah satu Agama menganggap penganut Agama lain sebagai HEWAN, dan sebaliknya, penganut Agama yang lainpun menganggap penganut yang lain Agama lagi sebagai, HEWAN. TIDAK ADA LAGI MANUSIA! Sehingga segala bentuk peringatan dan tindakan pun dilakukan kepada mereka (oleh orang yang beragama A kepada yang beragama B, misal) seakan-akan mereka sedang melakukannya terhadap HEWAN. Maka berarti jika seperti ini, memanusiakan manusia, itu PERLU!!!

Dan jika proyek mamanusiakan manusia ini berhasil, ingin sekali saya berkata, saya adalah dari kelompok A, saya berasal dari kelompok A, dan saya ingin orang menilai saya sebagai suatu bagian dari kelompok A, dan dari kelompok A-lah saya berangkat. Dengan catatan kelompok A adalah baik dimata manusia seluruhnya. Akankah "Kelompok A" itu tercipta? Atau ditemukan?

Wallohu A'laam.

"Aku tak tahu apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu kedalam api neraka, semoga tidak"

Ahmad Wahib tinggal bersama Romo HC Stolk (2 Tahun) dan Romo Willenborg (3 Tahun) dengan cara yang sangat baik sekali hingga menyebabkan Ahmad Wahib mengungkapkan hal ini.

Yang pertama kali akan saya katakan adalah WALLOOHU A'LAAM. Karena hal gaib seperti Surga dan Neraka adalah Rahasia Tuhan, mungkin Rasul (Nabi Muhammad SAW) sekalipun dahulu hanya memberikan ibarat saja atau gambaran dari keterangan yang diberikan Tuhan kepadanya. Walloohu A'laam.

Dewan juri yang saya hormati, izinkan saya menjelaskan beberapa pendapat saya yang sebenarnya hal ini adalah bahan pembahasan dalam skripsi saya nanti, Insya Allah. Tapi melihat pentingnya ia disini, semampunya akan saya jelaskan, bismillah.

Apakah salah jika saya mengatakan "Islam" berarti "Damai"? Atau salahkah jika saya katakan "Islam" berarti "Selamat". Yang jika begitu berarti segala sesuatu yang menyangkut kata "Islam" harus bersifat atau diidentikkan dengan kedamaian, keselamatan, tak ada perselisihan atau ke-"celaka"-an. Apakah itu salah?

Maka menyangkut hal ini, tentu jika ada sebuah organisasi atau kelompok atau kumpulan atau kaum atau bahkan lagi Agama, yang menamakan diri dengan kata "Islam" ini, HARUSLAH dipenuhi kelembutan, keramahan, kedamaian, bahkan harus menjadi pelopor kedamaian di dunia ini, harus menjadi yang paling memperjuangkan terciptanya kedamaian. Organisasi atau Agama yang menamakan diri sebagai "Islam" ini haruslah mengajarkan, menyampaikan, mengamalkan, menyerukan keselamatan. Sesuai dengan namanya, sesuai dengan makna yang seharusnya memang berlaku, yaitu "Islam" yang berarti "Damai atau Selamat".

Singkat kata, karena memang hanya bagian ini saja yang akan saya bahas. Hubungan penjelasan ini dengan kata-kata Ahmad Wahib pada bagian ini adalah sikap-sikap para pendeta tadi, tidak mungkin Ahmad Wahib berkata seperti itu jika kedua pendeta tadi bersikap buruk terhadap Ahmad Wahib. Tidak mungkin Ahmad Wahib mendo'akan hal mulia itu jika ia diperlakukan kasar oleh kedua pendeta itu.

Maksud saya, adalah kedua pendeta tadi telah bersikap "Muslim" atau "Islami" atau sebutan lainnya yang pasti tepatnya mereka tidak bersikap terbalik dari kata/sikap "Islam". Padahal mereka tahu betul Ahmad Wahib bukan dari golongan mereka. Ahmad Wahib beridentitas Muslim, sedangkan kedua pendeta tadi tentu saja non-Muslim (Nasrani). Tapi mereka mengerti apa yang dimaksud dengan kata "Islam", dan mereka melaksanakannya.

Mayoritas "Ulama Islam" atau dibawah Ulama atau dibawahnya lagi tidak pernah ada yang bersikap "Islam" seperti ini, bahkan jangankan terhadap kalangan yang berbeda keyakinan, terhadap sesama berkeyakinan pun, Na'uudzubillaah.

Seakan mereka tidak mengerti arti dari kata "Islam" tersebut, kata yang menjadi nama Agamanya sendiri itu. Atau memang tidak mengerti? Atau memang mungkin mengerti tapi ENGGAN untuk mengamalkannya? Kalau begitu, bukankah itu yang disebut munafik? Dzhalim? Atau apapun namanya yang pasti TIDAK BAIK?

Walloohu A'laam.

"Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx, dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan...aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menjadi dan menuju Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku"


 

"Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur'an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif."


 

"Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah."


 

"Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berfikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi."


 


"Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali."


 

"Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari. Di situ mungkin kita akan banyak berjumpa dengan kelompok pragmatisme, tapi jelas arahnya lain. Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif. Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya pada orang-orang yang disebut pewaris-pewarisnya."


 

  • ANTARA "BERFIKIR BEBAS", "BERPENDAPAT BEBAS" DAN "BEBAS BERPENDAPAT"


 

Liberalisasi Dan Sekularisasi

Bukan Berarti Amoralisasi

Liberalisasi Dan Sekularisasi

Bukan Berarti Atheisasi


 

"Wahai umat Beragama... apapun Agamamu, fahami 'Agama'mu, amalkan, terapkan, laksanakan ajaran 'Agama'mu dalam kehidupan sehari-harimu, sampaikan DENGAN CARA YANG BAIK ajaran 'Agama'mu itu. Atau JANGAN sama sekali beragama, daripada engkau justru menodai citra dan kesucian Agama."


 

No comments:

Post a Comment